Cirebon, INDONEWS.ID – Generasi muda Indonesia harus mewaspadai kembali gencarnya penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme dengan gaya baru.
Walaupun hal yang dianggap gaya baru itu mampu mengundang rasa penasaran, tapi perlu dipahami bahwa penyebaran radikalisme di kalangan remaja masih dimotori oleh pihak yang sama, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
“Terkait dengan HTI dan FPI, Pemerintah kan sekitar tahun 2017 dan 2019 sudah menyatakan dan membuat keputusan untuk melarang keberadaan dari kedua organisasi ini, artinya sudah dianggap ilegal. Tentu ketika organisasi ini dianggap ilegal, maka segala hal terkait dengan kegiatan mereka menjadi dilarang. Mulai dari organisasinya, atributnya, dan lain sebagainya, dan upaya untuk melakukan banding juga dilakukan oleh HTI ya sampai ke PTUN, tapi semua kan sudah dinyatakan ditolak,” ujar Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. KH. Didin Nurul Rosidin, M.A., PhD., di Cirebon, Selasa (12/11/2024).
Menurutnya, ada dua aspek yang mungkin bisa disorot dari peristiwa pembubaran HTI dan FPI.
Pertama adalah aspek penegakan hukum. Kalau sudah ditetapkan sebagai organisasi yang terlarang, maka aspek komitmen dan konsistensi dari aparat penegak hukum, dengan aturan-aturan terkait organisasi terlarang sebagaimana diatur undang-undang itu harus dijalankan.
Implikasinya adalah tidak boleh ada bendera, logo, kantor, atau apapun itu yang mengatasnamakan HTI dan FPI, karena tidak diakui secara hukum.
Disinilah dibutuhkan ketegasan dari aparat penegak hukum untuk melaksanakannya. Jika tidak, maka keputusan yang sudah dibuat oleh Pemerintah akan terasa ompong. Hukum yang disahkan menjadi tidak memiliki fungsi apapun dan tidak berdampak apapun terkait dengan organisasi yang telah dilarang.
“Apapun yang sifatnya memang secara aturan dilarang, maka konsistensi dan komitmen dari aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan itu menjadi tantangan tersendiri. Hal ini sekaligus juga menjadi tuntutan, apakah aparat penegak hukum mampu melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan yang sudah diputuskan?” kata Prof Didin seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.
Aspek kedua, menurutnya, masyarakat dan Pemerintah juga harus sadar bahwa kejahatan yang sifatnya ideologis akan lebih sulit ditindak.
Karena ia akan lebih sulit dikenali dibandingkan dengan jenis kejahatan yang tampak, seperti halnya judi online ataupun pornografi.
Prof. Didin beranggapan bahwa Indonesia harus lebih matang dalam menyikapi luasnya informasi yang bertebaran di dunia maya.
Pemahaman radikalisme dan terorisme tidak akan berhenti dalam satu bentuk saja, melainkan akan terus bertransformasi dan bermetamorfosis agar mudah menyebar dan diterima masyarakat luas.
“Itulah realita pertukaran informasi di dunia maya saat ini. Menolak realitas itu adalah sebuah kecerobohan, bisa dibilang sebagai kebodohan kan? Menyikapi realitas seperti kita tidak bisa menolak adanya proses transformasi, metamorfosis, atau reformulasi dan lain sebagainya, terkait dengan pemikiran yang beredar di dunia maya,” terangnya.
Prof. Didin beranggapan bahwa realita yang ada harus disikapi secara bijak. Pemblokiran atau pemutusan akses terhadap suatu hal yang dianggap terlarang atau bertentangan dengan peraturan negara jelas bukan solusi jangka panjang.
Bicara ideologi yang terlarang karena mengandung radikalisme dan terorisme, harus juga mengurai sebab dan alasan mengapa pelarangan tersebut ada.
Dia mencontohkan, jika di dalam agama Islam itu ada larangan makan daging babi, namun banyak yang tidak tahu bahwa ada sekitar 40 jenis produk konsumsi dari olahan daging babi.
Karena itu, ketika seseorang tidak tahu bahwa di suatu produk ternyata ada kandungan babi misalnya, maka bisa jadi dia memakan itu.
“Oleh karena itu, pengetahuan atau peningkatan pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang itu adalah penting untuk melakukan antisipasi. Maka kalau misalnya HTI dilarang, kenapa atau apanya yang dilarang? Apa yang bertentangan? Apa yang berbeda? Apa yang memang ditolak? Ini perlu dijelaskan ke masyarakat,” imbuhnya.
Karena itu, katanya, pemerintah dan penegak hukum harus melakukan kontranarasi melalui edukasi. Alangkah baiknya kalau kita sudah melakukan langkah dekonstruksi terhadap ideologi radikal, lalu rekonstruksi pemikiran agar kembali moderat.
“Misalnya tentang ideologi Pancasila, apa sih kebaikan dari ideologi Pancasila? Mengapa Indonesia menjadikan ideologi Pancasila sebagai dasar? Mengapa Indonesia menjadikan Undang-undang Dasar sebagai konstitusi? Ini yang saya rasa penting disampaikan pada masyarakat luas,” pungkas Prof. Didin. *