Jakarta, INDONEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang kini menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap kasasi Ronald Tannur, hanya sekali melaporkan penerimaan gratifikasi selama periode 2012 hingga 2022.
Hal ini disampaikan oleh Kasatgas Direktorat Gratifikasi KPK, Indira Malik, saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (14/4).
Dalam kesaksiannya, Indira menyebut satu-satunya laporan gratifikasi dari Zarof terjadi pada tahun 2018, berupa karangan bunga senilai Rp 35,5 juta yang diterima saat pernikahan putranya, Ronny Bara Pratama, dengan Nydia Astari di Hotel Bidakara, Jakarta.
“Karena penerimaan itu masih dalam batas yang diperkenankan, jadi tidak ada penerimaan itu yang ditetapkan sebagai milik negara atau yang dianggap suap,” ujar Indira di persidangan.
Jaksa kemudian mengejar pernyataan tersebut dengan mempertanyakan laporan gratifikasi lain selama satu dekade terakhir, terutama setelah ditemukannya uang tunai dalam berbagai mata uang dan logam mulia emas di rumah Zarof oleh penyidik Kejaksaan Agung.
“Tadi saksi kan menerangkan terkait adanya data laporan gratifikasi periode 2012 sampai dengan 2022, untuk atas nama terdakwa hanya ada satu laporan penerimaan gratifikasi ya?” tanya jaksa.
“Iya,” jawab Indira singkat.
“Selebihnya tidak ada ya? Termasuk uang tunai dalam pecahan mata uang rupiah, dolar Singapura, dolar Amerika, euro, dolar Hong Kong, dan logam mulia emas juga tidak pernah ada laporan?” lanjut jaksa.
“Belum ada,” jawab Indira.
Sementara itu, dalam dakwaan, Zarof Ricar disebut menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas yang diduga berasal dari pengurusan perkara di lingkungan peradilan sepanjang ia menduduki berbagai jabatan strategis di Mahkamah Agung.
Adapun posisi yang pernah diemban Zarof di antaranya: Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana (2012); Sekretaris Ditjen Badan Peradilan Umum MA (2014); Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA (2017–2022)
Dengan posisi tersebut, Zarof dinilai memiliki akses luas kepada para hakim agung dan pejabat di berbagai tingkatan pengadilan, yang diduga menjadi pintu masuk praktik gratifikasi dalam pengurusan perkara.
Kasus ini menjadi salah satu sorotan besar publik terhadap dunia peradilan Indonesia, mengingat besarnya jumlah gratifikasi yang dituduhkan dan keterlibatan langsung pejabat tinggi di lembaga peradilan.*