Nasional

Mengenal Fenomena Baru di Dunia Kerja: Dari Job Hopping ke Job Hugging

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 08/09/2025 10:11 WIB


 

Jakarta, Jakarta – Setelah tren job hopping sempat populer pada 2021–2022, kini muncul fenomena baru di dunia kerja yang disebut job hugging. Jika job hopping identik dengan perpindahan kerja demi kenaikan gaji signifikan, maka job hugging justru menggambarkan kondisi ketika pekerja memilih bertahan di pekerjaan saat ini bukan karena merasa berkembang, melainkan karena takut dengan ketidakpastian masa depan.

Fenomena ini muncul seiring memburuknya pasar tenaga kerja global. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), kenaikan harga, serta kondisi ekonomi yang tidak menentu membuat banyak pekerja menilai bertahan lebih aman ketimbang mencari peluang baru.

Menurut Jennifer Schielke, CEO Summit Group Solutions, job hugging dapat menciptakan ilusi kesetiaan karyawan, padahal sebenarnya lebih dekat dengan stagnasi.

“Laporan pekerjaan, keterbatasan anggaran, dan rasa takut yang terus-menerus merasuki ruang kerja kita membuat bertahan tampak sebagai langkah logis demi stabilitas. Namun, bila pemimpin menganggap rendahnya tingkat pergantian karyawan sebagai kesuksesan, mereka bisa kehilangan talenta terbaik saat pasar membaik,” ujarnya dikutip Forbes.

Tanda-Tanda Job Hugging

Schielke menjelaskan sejumlah indikasi munculnya job hugging di tempat kerja, di antaranya: Peningkatan stres yang memengaruhi perilaku dan suasana hati tim. Karyawan hanya berfokus pada area yang sudah dikuasai, bukan pada aspek yang krusial bagi tim.

Antusiasme untuk membantu peran tambahan, tetapi tetap berpegang pada posisi utama karena rasa takut kehilangan pekerjaan. Pekerja yang sebetulnya sudah melampaui perannya, tetapi enggan pindah karena khawatir kondisi pasar.

Meski demikian, momen ini dapat dimanfaatkan perusahaan untuk mendorong pengembangan diri, bimbingan, serta pertumbuhan karyawan.

“Stabilitas tidak sama dengan komitmen. Pemimpin hebat akan menjadikan situasi ini sebagai peluang untuk membangun budaya kerja yang lebih kuat dan berkelanjutan,” tambah Schielke.

Perlu Empati dari Perusahaan

Sementara itu, Tara Ceranic Salinas, profesor etika bisnis sekaligus Ketua Departemen Manajemen di Knauss School of Business, University of San Diego, menekankan pentingnya peran empati dalam kepemimpinan.

“Perusahaan yang benar-benar ingin meningkatkan keterlibatan harus berinvestasi dalam budaya mereka dan memprioritaskan empati serta kemanusiaan, bukan sekadar jargon,” kata Salinas.

Fenomena job hugging pun menjadi pengingat bahwa stabilitas di dunia kerja tidak selalu berarti kepuasan. Bagi perusahaan, masa penuh ketidakpastian ini dapat menjadi momentum penting untuk memperkuat hubungan dengan karyawan sekaligus mempersiapkan diri menghadapi persaingan di masa depan.

Artikel Lainnya