Opini

Membantu Gubernur Melki Meracik `Obat` Ilmu Kemanusiaan

Oleh : very - Rabu, 29/10/2025 22:37 WIB


Agustinus Tetiro adalah Peminat Filsafat. (Foto: Ist)

 

Oleh: Agustinus Tetiro*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Emanuel Melkiades Laka Lena tidak pernah belajar filsafat dan ilmu kemanusiaan (humaniora) secara sistematik di sebuah lembaga pendidikan khusus atau kampus. Dia adalah seorang sarjana ilmu farmasi dan berprofesi sebagai apoteker. Kerja utama seorang apoteker adalah meracik obat. 

Sejak awal Melki menjabat sebagai gubernur NTT, kita tahu bahwa dia menaruh perhatian serius pada pembangunan manusia yang holistik, dengan menyatakan bahwa dua tugas utama kita sebagai warga NTT adalah mengurangi angka kemiskinan ekstreme dan angka tengkes (stunting). Bagi Melki, orang-orang NTT harus bisa berusaha untuk bebas dari kemiskinan eksteme dan stunting melalui sejumlah program pemberdayaan masyarakat, antara lain One Village One Product (OVOP) dengan segala variannya yang sedang digagas di sekolah, kampus, komunitas dan lain-lain. Begitu juga dengan program “Beli NTT” yang mendorong kita semua untuk bangga berbelanja produk-produk asli NTT.

Untuk dua contoh program itu saja, Melki mengerahkan hampir semua sumber daya dan peluang: optimalisasi potensi pendapatan asli daerah (PAD), reformasi birokrasi berbasis pemberdayaan ekonomi bisnis, penguatan UMKM pada kelompok-kelompok masyarakat, mengetuk hati pengusaha melalui CSR dan TJSL, mengajak kampus untuk terlibat aktif dalam derap pembangunan daerah dan lain sebagainya. 

Ada satu hal yang mungkin belum terlalu sering diperdengarkan oleh Gubernur Melki kepada publik adalah soal bagaimana ilmu filsafat, teologi dan rumpun ilmu humaniora bisa berkontribusi bagi pembangunan di NTT.  Sesuatu yang harus mendapat perhatian serius, karena ada banyak orang NTT yang tercatat sebagai sarjana filsafat, teologi dan pemikir sosial yang pada gilirannya harus diajak urun-rembuk tentang cara-cara inovatif dan transformative membangun NTT dalam dan melalui perspektif keilmuan mereka.

Kendati belum sering, dalam beberapa kegiatan, Gubernur Melki telah menyatakan pentingnya sejenis filsafat untuk pembangunan di NTT. Acara penting teranyar tentu saja pada upacara wisuda di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Sikka, belum lama ini (Sabtu, 25/10/2025).

Di salah satu kampus tertua di NTT dengan sebaran alumni di lebih dari 70 negara itu, Gubernur Melki menekankan tiga hal penting. Pertama, daya kritis kampus harus bisa masuk dalam radar komunikasi publik di NTT. Pada prinsipnya, pemerintahan provinsi (Pemprov) NTT membuka diri terhadap kritik yang berbasis argumentasi yang jelas.

Kedua, meminta IFTK Ledalero mendukung jam belajar masyarakat yang akan diresmikan melalui peraturan gubernur (Pergub). Pertimbangan mengenai aturan jam belajar ini diambil setelah menilai kondisi terkini realitas pendidikan di NTT baik dari segi akademik maupun dari segi moral peserta didik. IFTK Ledalero melalui program pengabdian masyarakat dan deretan alumninya yang memegang peranan penting dalam masyarakat bisa membantu Pemprov NTT mengingatkan kembali peran penting dan nilai-nilai kekeluarga di setiap rumah tangga.        

Ketiga, IFTK diajak untuk terlibat aktif dalam derap pembangunan di NTT melalui pola dan skema kemitraan. Menurut Melki, setelah sekolah filsafat agama dan teologi Katolik ini berkembang menjadi IFTK, nama Ledalero semakin mendapat perhatian publik, terutama menyangkut potensi kontribusinya bagi pembangunan daerah. Filsafat mendapat ruang mendaratnya pada hal-hal yang bisa dipahami oleh orang dan masyarakat biasa melalui barang-barang yang mereka hadapi setiap hari.

Kesempatan kedua yang penulis ikuti ketika Gubernur Melki berbicara agak serius tentang peran ilmu-ilmu humaniora adalah saat Leaders Lectures Series on Humanities di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu (Jumat, 10/10/2025). Gubernur Melki dan para dosen FIB-UI sepakat untuk membangun narasi digital bagi pariwisata budaya NTT yang dimulai dari Sumba. Termasuk juga, narasi tentang UMKM NTT.

FIB-UI juga sepakat untuk membantu Pemprov NTT dalam perluasan cakupan pemberitaan promosi pariwisata dan potensi alam, penguatan pengajaran sastra dan budaya, menjalin kemitraan strategis kota-kota dunia dengan sejumlah kota di NTT melalui pola dan skema sister-cities, dan lain-lain.   

 

“Ex Philosophia Claritas!”

Dari dua peristiwa ilmiah yang penulis paparkan di atas, terlihat bahwa meskipun tidak belajar filsafat dan ilmu humaniora secara sistematis di suatu lembaga pendidikan tinggi, Gubernur Melki memahami dengan baik peran apa yang bisa dimainkan oleh filsafat dan ilmu humaniora lainnya. Di Ledalero, Melki secara tidak langsung berbicara tentang filsafat sebagai ilmu kritis. Tugas filsafat adalah memperlihatkan ketidakberesan dan membuat orang yang tidak benar dan kurang baik selalu gelisah.

Di Ledalero juga, Melki meminta kesediaan orang-orang filsafat dan teknologi kreatif untuk membantu derap pembangunan di NTT. Hal yang sama juga menjadi perhatian sang gubernur ketika di FIB UI.

Secara umum, filsafat memang dikenal sebagai ilmu kritis. Filsafat dan ilmu-ilmu humaniora lainnya mungkin akan selalu disalahpahami oleh para penguasa. Hal ini bisa dipahami, karena filsafat pada dasarnya memang hanya mengabdi kepada kebenaran, dan tidak sekali-kali berkompromi dengan kedangkalan. Filsafat adalah negasi total terhadap kebohongan, sambil pada saat yang sama menawarkan kemungkinan lain yang bisa ada.

Peluang terhadap kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ada itu harus dipandu benar-benar dengan rasionalitas, moralitas dan kehendak politik (political will) yang baik. Akal budi yang cemerlang akan menghantar kita kepada kebenaran telanjang tanpa sentimentalisme yang dirasionalisasi terus-menerus oleh mereka yang bisa memperalat ilmu filsafat.

Moralitas yang otentik bisa menjadi kompas bagi pembangunan. Metode-metode etika seperti utilitarisme, deontologi dan etika keutamaan kiranya bisa menjadi pengetahuan dasar bagi para pengambil kebijakan di daerah. Hal ini hanya mungkin jika filsafat melalui para sarjananya memainkan sejumlah peran sentral di kubu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sekurang-kurangnya para pejabat memiliki kemampuan dasar untuk berpikir secara etis-filosofis.

Penulis amat berharap, Ledalero bisa menjadi dapur yang baik bagi sosialisasi filsafat yang berguna untuk pembangunan di NTT. Harapan lainnya adalah bahwa Ledalero mampu meyakinkan Gubernur Melki bahwa dua cabang dasar filsafat yakni Logika dan Etika bisa diajarkan sejak SMA di NTT. Logika akan melatih peserta didik untuk berpikir logis dan dalam. Etika Dasar akan memperkenalkan peserta didik sejak SMA tentang pentingnya penalaran etika, terutama etika sosial/publik.

Selain sebagai ilmu kritis yang memang amat penting untuk mengawasi kebijakan publik, filsafat juga bisa memainkan peran sebagai obat penenang (tranquiliser). Istilah ini mengingatkan kita pada filsuf cum bapak ekonomi modern Adam Smith, yang juga pada beberapa literatur mengatakan sebagai pelopor ilmu kebijakan publik dan ekonomi politik.

Menurut Adam Smith, di tengah potensi kekacauan karena sesak dan tidak jelasnya arah pemikiran dan debat kusir tentang suatu pemikiran yang berpotensi chaos, filsafat adalah obat penenang. Kita menarik napas sejenak lalu kembali melihat orientasi pemikiran bersama. Pemikiran yang baik harus yang mempertemukan kepentingan-kepentingan bersama.   

Apapun peran yang bisa dimainkan oleh filsafat dan rumpun ilmu humaniora, kiranya semua harus atas dasar kehendak politik untuk kebaikan bersama (bonum commune). Sebelum kuliah umum di FIB, wakil rektor UI Profesor Hamdi Muluk memperkenalkan Gubernur Melki sebagai tukang racik obat yang kini meracik kebijakan bagi NTT untuk keluar dari kemiskinan ekstreme dan stunting.

Racikan awal Gubernur Melki dan ‘provokasi’ sederhana dari catatan ini pasti masih jauh dari kata canggih apalagi sempurna. Giliran selanjutnya tentu saja adalah undangan bagi semua untuk sumbang saran. Tentu saja semua pemikiran haruslah membawa kita pada suatu kejelasan untuk bertindak. Setelah filsafat, muncullah kejelasan (Ex philosophia claritas!) 

*) Agustinus Tetiro adalah Peminat Filsafat

Artikel Lainnya