INDONEWS.ID

  • Rabu, 11/04/2018 09:20 WIB
  • Hakim Praperadilan Rampas Putusan KPK dalam Penetapan Boediono

  • Oleh :
    • very
Hakim Praperadilan Rampas Putusan KPK dalam Penetapan Boediono
Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

Jakarta,  Indonews. Id - Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara gugatan Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN. JS. tertanggal 9 April 2018, yang memerintahkan KPK untuk menetapkan mantan Wakil Presiden Budiono sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penetapan Bank Century  sebagai Bank gagal berdampak sistemik, sebagai Putusan Hakim yang sudah melampaui wewenang Praperadilan yang diberikan oleh KUHAP bahkan boleh dikatakan sebagai telah merampas wewenang Penyidik KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Menurut Petrus Selestinus,  untuk diketahui bahwasanya KUHAP secara limitatif telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada Penyidik untuk mengekuarkan Surat Perintah Penyidikan dan Menetapkan seseorang sebagai Tersangka hanya berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan serta harus didukung dengan sekurang-kuranya dua alat bukti. Keberadaan minimal dua alat bukti sebagai syarat dalam menentukan dan menetapkan seseorang menjadi tersangka itulah oleh Undang-Undang KUHAP dan UU KPK hanya diberikan kepada Penyelidik dan Penyidik di Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan sama sekali tidak kepada Hakim Praperadilan.

Baca juga : Usulan Partai Nasdem Soal Perjanjian dalam Hak Angket Dinilai Melecehkan Anggota DPR

"Dalam praktek Peradilan, perluasan wewenang Hakim termasuk Hakim Praperadilan untuk mengisi kekosongan Hukum Acara, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang oleh Hakim, karena UU Mahkamah Agung RI telah memberikan wewenang itu kepada Ketua Muahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung," ujar Koordinator TPDI ini. 

Hal ini diatur di dalam ketentuan pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Apalagi KPK tidak punya wewenang untuk menghentikan penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Praperadilan Hakim Effendi Muktar, secara tidak langsung telah mengintervensi wewenang Penyidik seluruh instansi penyidik termasuk KPK yang oleh UU diberi wewenang berdasarkan pertimbangan subyektif untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak.

Baca juga : Pemberian Pangkat Istimewa pada Prabowo, TPDI: Presiden Jokowi Tidak Pertimbangkan Rasa Keadilan Korban

Hakim Praperadilan bukanlah penyelidik dan bukan penyidik, karena itu kewenangan menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang secara dominus litis Penyidik, karena wewenang itu tidak pernah diberikan kepada Instansi lain termasuk Hakim Praperadilan untuk menentukan. Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menyalahgunakan wewenang Praperadilan dan telah bertindak melampaui wewenang dengan memperluas sendiri wewenangnya.

Bahkan mengambilalih wewenang Ketua Mahkamah Agung terkait upayanya menciptakan Hukum Acara guna memperluas wewenang Praperadilan. Adanya perluasan wewenang Praperadilan untuk mengeluarkan perintah kepada Penyidik KPK guna menetapkan status tersangka kepada mantan Wakil Presiden Budiono, ini jelas sebgai sebuah penyalahgunaan wewenang secara berlebihan terhadap lembaga Praperadilan tanpa Hukum Acara yang mengaturnya secara jelas.

Baca juga : Diduga Backing TPPO, Koordinator TPDI Minta Oknum BIN Dinonaktifkan

Mahkamah Agung harus merespons sikap Hakim Effendi Muktar, Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN. JS. karena telah mengintervesi wewenang Penyidik KPK dengan memperluas sendiri wewenang Praperadilan.

"Jika Hakim Effendi Muktar menganggap ada Kekosongan Hukum untuk mengontrol Penyidik KPK dalam kerja penyidikan, maka terhadap kekosongan Hukum Acara dimaksud, hanya boleh diatasi dengan menciptakan hukum baru yaitu dengan UU atau dilakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan pasal 79 UU Mahkamah Agung," pungkanya. 

Artikel Terkait
Usulan Partai Nasdem Soal Perjanjian dalam Hak Angket Dinilai Melecehkan Anggota DPR
Pemberian Pangkat Istimewa pada Prabowo, TPDI: Presiden Jokowi Tidak Pertimbangkan Rasa Keadilan Korban
Diduga Backing TPPO, Koordinator TPDI Minta Oknum BIN Dinonaktifkan
Artikel Terkini
Direktur Indo Barometer M Qodari dan Demokrat Tanggapi Gugatan Uji Materi Dr Audrey Agar Pelantikan Prabowo Dipercepat
Mungkinkan Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Bisa Dipercepat? Simak Penjelasannya!
WWF ke-10 di Bali, Deklarasi Menteri Resmi Diadopsi 133 Negara dan Organisasi Internasional
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Maybrat Lakukan Study Tour ke Minahasa Tenggara
Upacara Peringatan ke-116 Hari Kebangkitan Nasional di Kabupaten Maybrat: Menuju Indonesia Emas
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas