INDONEWS.ID

  • Rabu, 04/07/2018 09:11 WIB
  • Peran Lembaga Survei di Pilkada Serentak Mulai Dipertanyakan

  • Oleh :
    • very
Peran Lembaga Survei di Pilkada Serentak Mulai Dipertanyakan
Diskusi di Bawaslu Center, Selasa (3/7/2018). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID- Pada pelaksanaan Pilkada Serentak kali ini beberapa lembaga survei bertumbangan, alias hasil rilisnya meleset jauh dalam memprediksi elektabilitas pasanan calon yang bertarung dalam Pilkada. Sebagaimana diketahui, misalnya, di Jawa Tengah beberapa lembaga survei mengeluarkan rilis bahwa pasangan Sudirman-Ida tidak ada yang melebihi 20 persen. Namun dalam rilis hitung cepat KPU, pasangan calon itu mendapat suara di atas 40 persen.

Hal ini terjadi juga di Jawa Barat, dimana beberapa lembaga survei menempatkan elektabilitas pasangan nomor urut tiga (Sudrajat-Syaiku) di bawah 10 persen. Namun lagi-lagi ketika KPU merilis hitung cepatnya pasangan calon tersebut meraih di atas 28 persen. 

Salah satu evaluasi kritis Pilkada Serentak yang didiskusikan di Bawaslu Media Center adalah mengenai kegagalan lembaga survei dalam akurasinya memprediksi hasil Pilkada. Diskusi ini digelar oleh Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) bersama Indonesian Democratic Center for Strategic Studies (INDENIS), sebuah lembaga perkumpulan yang baru dibentuk.

Girindra Sandino dari Sakti mengatakan, hasil survei tersebut merupakan preseden buruk bagi kontestasi demokrasi lokal di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai dan asas jujur dan adil, sebagai syarat standar pemilu demokratik.                           

Menurutnya, lembaga survei dalam Pasal 131 ayat (3) huruf a, UU No. 10/2016 tentang Pilkada, dengan tegas menyebut bahwa “Partispasi masyarakat (termasuk survey), tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota”.

“Hal yang terjadi di Pilkada Serentak saat ini lembaga-lembaga survei tak ubahnya sebagai tim pemenangan dengan menggiring opini untuk mempengaruhi preferensi piihan masyarakat pemilih,” ujarnya di Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Menurutnya, lembaga survei seperti ini sama saja melakukan pembohongan publik, bahkan lebih jauh dapat dibilang sebagai bagian dari “kejahatan pemilu”. Oleh karena itu lembaga-lembaga survei terkait harus mempertanggung jawabkannya kepada publik. Girindra yang juga Dir.Eks. Indonesian Democratic Center for Strategic Studies (INDENIS) ini mengatakan, survei merupakan bentuk komunikasi politik yang juga merupakan salah satu ciri kehidupan demokrasi yang semakin menunjukkan dinamika tersendiri saat menjelang babak penentuan tahap demokrasi elektoral.

Jadi tidak ada yang salah atau keliru dengan survei beserta publikasinya sebagai praksis demokrasi. Hasil-hasil survei pasti memperoleh tanggapan terbuka atau menjadi bahan diskusi bahan internal para paslon dan parpol atau gabungan parpol serta masyarakat pemilih dan juga dapat membuat gusar paslon yang peringkatnya tergusur diluar kalkulasi politik obyektif, bahkan menyeberangi probabilitas dalam realitas politik.

“Dalam demokrasi modern, lembaga survei tidak harus dibatasi ruang geraknya, oleh karena secara teoritik,  komunikasi  dalam sistem politik selalu melibatkan aktor-aktor politik yang dipilih (elective political actors) dan organisasi-organisasi atau aktor politik yang tidak dipilih melalui pemilu (non elective political actors), seperti kelompok-kelompok penekan, organisasi publik, sektor bisnis dan sebagainya, yang melakukan interaksi politik serta mewacanakannya kepada publik khususnya pemilih melalui media massa. Juga dalam sistem politik (terbuka kemungkinan lembaga  survei pemilu menjadi bagian dari kelompok penekan sure groups), sektor bisnis atau organisasi publik,” ujarnya.

Namun demikian, menurut Girindra, survei juga harus bisa mempertanggung jawabkan metodenya ketika mereka menjadi bagian dari lembaga pemenangan. Metodologi yang mengarahkan Paslon yang membayar justru merupakan bentuk pengingkaran terhadap pendidikan politik demokrasi (ketika lembaga survei menyatakan diri sebagai lembaga independen). Masyarakat dibodohi. Mereka aktor lembaga survey bisa saja memakai pertanyaan-pertanyaan bias yang merekonstruksi pertanyaan terarah untuk menjadi alasan ilmiah Paslon menang. Wajar jika banyak saat ini lembaga survei meleset. Karena mana mungkin sudah dibayar mahal mengeluarkan hasil survei yang jujur.

“Harus ada mekanisme hukum untuk mengatur survei dan sanksi. Hal ini bukan merupakan bentuk pengekangan terhadap hak berekspresi akan tetapi lebih melindungi  kepentingan masyarakat secara politis. Karena bisa saja menimbulkan konflik jika survei terlalu membela pemodal dengan menegasikan kebenaran ilmiah di detik-detik kondisi yang sangat kritis,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Mendagri Minta Pemerintah Daerah Jaga Stabilitas Laju Inflasi Usai Libur Lebaran
Kerja Sama dengan Koso Nippon, BSKDN Kemendagri Harap Daerah Terapkan Review Program
Kemendagri: Jadikan Musrenbang sebagai Wadah Pengentasan Kemiskinan Ekstrem
Kerja Sama Indonesia-Singapura Terus Berlanjut, Menko Airlangga Bahas Isu-Isu Strategis dengan Menteri Luar Negeri Singapura
Serius Maju Pilgub NTT 2024, Ardy Mbalembout Resmi Mendaftar di DPD Demokrat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas