Jakarta, INDONEWS.ID - Tak pelak lagi, suasana perpolitikan jelang Pilpres 2019 lebih diwarnai oleh spekulasi pasangan capres/cawapres, ketimbang perdebatan-perdebatan publik yang luas dan serius mengenai platform, program, dan berbagai alternatif untuk memajukan bangsa dan menghadapi dinamika regional dan global ke depan. Kalaupun terdapat perbincangan politik di ruang publik, acap kali muncul secara sporadis, reaktif, dan diwarnai oleh isu-isu yang sensasional bukan fundamental secara politik kekinian.
Salah satu yang paling menarik perhatian publik dan meramaikan suasana perpolitikan adalah berbagai perubahan hasil survei terkait elektabilitas atau popularitas para calon, selain berbagai skenario paslon.
Dengan demikian, wacana tentang siapa penantang Joko Widodo sejatinya tak terlalu ‘penting’ manakala publik tidak melihat atau tidak diperlihatkan siapa paslon yang memiliki ‘kelebihan’ dan ‘daya tarik’ melampaui sang petahana.
Apalagi jika sang penantang sendiri masih belum jelas pula apakah akan memenuhi persyaratan legal formal pencalonan, disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan parpol-parpol oposisi.
Ditambah lagi dengan absennya ‘ideologi pengikat’ dan hanya mengandalkan ‘aspirasi’ politik (populisme, primordialisme, dll), semakin sulit bagi oposisi untuk bisa menampilkan alternatif platform di luar retorika-retorika kampanye.
“Probabilitas terkuat bagi oposisi adalah membuat satu paslon alternatif, walaupun upaya membuat dua alternatif paslon penantang masih berjalan. Pertimbangan saya adalah karena parpol-parpol oposisi sangat enggan untuk bergerak melampaui kepentingan pemenangan Pileg yang sangat terkait dengan Pilpres tersebut,” ujar Pengamat Politik dari President University, Muhammad AS Hikam dalam dikusi yang diselenggarakan oleh Para Syndicate, Jumat (6/07/18).
AS Hikam mengatakan, probabilitas pencalonan Jusuf Kalla atau Amien Rais sebagai capres, misalnya, terasa kecil dibandingkan dengan Prabowo Subianto. Demikian pula dengan Anies Baswedan, apalagi AHY. Selain jika Prabowo Subianto bersedia mewakafkan pencapresan beliau demi mendapatkan capres yang memiliki daya tarik “lebih”, rasanya akan sulit bagi parpol oposisi untuk bergeser dari apa yang berkembang saat ini. Tokoh-tokoh yang dalam survei cukup menjanjikan seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, Anis Matta, dan lainnya, tampaknya hanya akan sampai pada "maqom" cawapres.
Persoalan bagi pihak oposisi akan lebih rumit jika soal siapa yang jadi cawapres tak kunjung disepakati. Ini beda dengan Presiden Jokowi, yang tidak memiliki masalah "political leverage" ini. Bukan saja karena nyaris semua parpol pendukung beliau secara formal sudah menyatakan “terserah Jokowi,” tetapi posisi elektabilitas dan popularitas Jokowi sebagai capres tetap kokoh kalau tidak bisa dikatakan semakin kokoh.
“Jika oposisi tidak segera menyelesaikan persoalan ini, Pilpres 2019 akan menyaksikan ada calon tunggal atau Jokowi melawan ‘kotak kosong’. Suatu peristiwa yang semestinya tak boleh terjadi,” pungkasnya. (Very)