Jakarta, INDONEWS.ID - Staf Khusus Presiden Bidang Keberagamaan tingkat Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin memberikan presentasi pembuka dalam “General Assembly Forum Asia” yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 28-29 September 2018.
Dihadapan Sekitar 150 representatif organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara di Asia, Ruhaini menegaskan pentingnya mengembangkan moderasi beragama atau wasatiyah diniyah dalam merawat demokrasi dalam konteks Pluralitas dan multikultural.
Moderasi beragama menuntun ‘jalan tengah’ yang menjadi dasar toleransi aktif dalam mewujudkan keperdulian yang “terlibat“ ( engagement) dalam aspek-aspek sosial riil yang membentuk sikap pro-eksistensi.
Berbeda dengan co- eksistensi, lazim disebut toleransi pasif yang berada pada dataran ‘ kognitif’ sehingga terbatas hanya pada sikap saling memahami.
Toleransi aktif mendorong setiap individu menjadi agent of tolerance dimanapun mereka berada sehingga mau atau open-minded membuka kesetaraan akses dan partisipasi publik serta berkehendak mewujudkan keadilan sosial.
Hakekat intoleransi adalah ‘ketidakperdulian’ dan ketidakmauan berbagi ruang eksistensi dengan pihak lain.
Toleransi pasif dalam ko-eksistensi masih menyisakan ‘sekat’ eksklusifitas yg berpotensi memunculkan preferensi premordial agama, etnisitas dan bahkan klas sosial yang memicu intoleransi.
Oleh sebab itu, kata Ruhaini, nexus antara ko-eksistensi dengan peneguhan identitas, kepentingan politik kepentingan politik, ekonomi dan penguasaan sumber daya masih berpotensi memicu intoleransi. Lebih lanjut Ruhaini menegaskan bahwa:
1. Money politics dsn kecurangan pemilu adalah bentuk intoleransi berpolitik.
2. Korupsi dan nepotisme adalah intoleransi dalam tata kelola publik
3. Kolusi dan oligarki intoleransi dalam ekonomi
4. Perilaku keagamaan yg eksklusif dan ekstrim adalah intoleransi beragama
5. Tindakan sosial yg diskriminatif adalah intoleransi sosial
Berbagai jenis intoleransi tersebut dapat memicu ketegangan dan konflik sosial yang menghancurkan.
Ruhaini menegaskan bahwa dalam
konteks plural dan multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama atau wasatiyah diniyah merupakan keharusan dalam mencetak agent of tolerance yang ‘terlibat” aktif menciptakan ruang bagi kebebasan berpendapat yang sehat dengan merayakan kebhinekaan dan menghormati perbedaan agama, suku, gender dan perbedaan sosial lainnya sebagai suatu keniscayaan.
Lebih lanjut Ruhaini menambahkan, setiap individu bertanggungjawab menciptakan politik yang bermartabat, ekonomi yang mensejahterakan, distribusi sumber daya yang merata, beragama yang rahmatan lil alamin dan interaksi sosial yang saling memberdayakan dan menguatkan.
Ruhaini mengakhiri presentasi di forum konsultasi regional ini mengingatkan bahwa pro-eksistensi berbasis moderasi agama dapat mendorong tercapainya demokrasi yang substantif dan penghormatan hak asasi manusia yang hakiki.(hdr)