Jakarta, INDONEWS ID – Pada Rapat Pleno Lembaga Pengkajian MPR RI, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan bahwa penerapan sistim yang terjadi di Indonesia punya ciri tersendiri, khas, Selasa (16/10).
Ciri tersebut tidak dimiliki oleh Negara-negara lainnya. Menurutnya, Pasca Reformasi 1998, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR RI. Indonesia beralih menggunakan sistem presidensial dimana presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, terpisah dengan kekuasaan legislatif di parlemen.
Sistim ini sangat ideal karena mempunyai dua kekuatan utama yang saling berhadapan. Sebagaimana terjadi di Amerika, Partai Republik berhadapan dengan Partai Demokrat. Di Indonesia, kombinasi sistem presidensial dengan kondisi multi partai di parlemen seperti saat ini menjadi wajah baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dunia.
Ia mencontohkan bagaikan sistim hybrid dalam sebuah kendaraan. Seperti diketahui bahwa Lembaga Pengkajian MPR RI mempunyai anggota 60 orang yang berasal dari berbagai tokoh dan pakar ketatanegaraan. Multi partai di parlemen yang dikombinasikan dengan presidensial tidak jarang menimbulkan resistensi terjadinya pemerintahan yang terbelah. Dimana calon pasangan presiden - wakil presiden yang memenangkan Pemilu bukan berasal dari koalisi partai politik yang menguasai parlemen.
Misalnya lagi ia mencontohkan, sejarah membuktikan, Pilpres 2004 yang dimenangkan SBY dengan JK dan Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi dan JK, bukan berasal dari koalisi partai politik yang menguasai parlemen.
"Untungnya di dua Pemilu tersebut, Partai Golkar selalu menjadi bandul yang menyeimbangkan kekuatan koalisi pemerintah untuk menghadapi koalisi oposisi di parlemen. Sehingga pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien. Hubungan pemerintah dan parlemen bisa terkendali," terang Bamsoet.
Masih menurutnya, agar sistem presidensial bisa berjalan secara tepat, maka perlu penyederhanaan partai politik di tingkat parlemen. Karena itu mulai Pemilu 2009 telah diberlakukan parliamentary threshold.
"Parliamentary threshold di Pemilu 2009 sebesar 2,5 persen. Meningkat di Pemilu 2014 menjadi 3,5 persen. Ditingkatkan lagi menjadi 4 persen untuk Pemilu 2019," kata Bamsoet.
Jika di Pemilu 2014 lalu ada 10 partai politik yang lolos ke parlemen, di Pemilu 2019 nanti jumlahnya akan mengecil lagi, bisa hanya 5-7 partai politik yang lolos. Jadi, partai politik dan para Calegnya dituntut bekerja keras memenangkan hati dan suara rakyat," jelasnya lagi.
Penyederhanaan partai politik di parlemen belum tentu bisa menjamin stabilitas politik penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu harus ada ikatan ideologis yang kuat bagi koalisi partai politik, sehingga anggotanya di parlemen punya garis perjuangan yang sama. (Abdi.K)