Nasional

Membaca Kerja Sama Trilateral Antara AS, Jepang dan Filipina dalam Konteks Geopolitik Asia Pasifik

Oleh : very - Kamis, 18/04/2024 19:09 WIB

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Media internasional ramai memberitakan pertemuan tingkat tinggi antara tiga negara yaitu AS, Jepang dan Filipina. Pertemuan trilateral yang diadakan di Gedung Putih, Washington pada 11 April lalu itu, membahas kerja sama strategis ketiga negara dalam berbagai bidang.

Sepertinya dunia tidak begitu kaget. Pasalnya, Jepang dan Filipina dalam sejarahnya memang memiliki kedekatan dengan AS. Tentu ada dinamika naik-turun dalam hubungan negara-negara tersebut.

Seperti Jepang, sejak kekalahannya dalam Perang Dunia II akibat bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki, nyaris selalu dalam bayang-bayang grand strategy pertahanan-keamanan AS di kawasan Asia Pasifik. Baru pada era Perdana Menteri Shinzo Abe (2012-2020), ada pemikiran untuk meninggalkan sikap pasifis dalam kebijakan pertahanan-keamanan.

Ada gelagat politik mengurangi ketergantungan AS di bidang hankam. Tapi kini Jepang dan AS justru sepakat untuk mengembangkan kembali berbagai skema kerja sama khususnya di bidang pertahanan-keamanan.

Demikian juga dengan Filipina, yang pernah tercatat sebagai sekutu paling setia AS di Asia Tenggara. Pada era Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986) AS sudah memiliki pangkalan militer di Subic dan Clark. Meski sempat terhenti di era Presiden Rodrigo Duterte (2016-2022), kerja sama pertahanan AS-Filipina kini makin berkembang.

Pada era Presiden Ferdinand Marcos Jr sekarang, pangkalan militer AS di Filipina justru bertambah menjadi sembilan lokasi. Di antaranya ada yang sengaja dibangun dekat Taiwan dan di perairan Laut China Selatan.

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala mengatakan, turun-naiknya hubungan antarnegara jamak terjadi.

“Tetapi tatkala tiga negara (AS-Jepang-Filipina) - yang dulu pernah berkerja sama di bidang militer – tetiba kini sepakat untuk memperkuat kerja sama kembali, muncul pertanyaan: ada apa dengan Jepang dan Filipina?,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (18/4).

Lantas, bagaimana membaca kerja sama trilateral ini dalam konteks geopolitik Asia Pasifik?

Dosen Hubungan Internasional FISIP, Universitas Padjadjaran ini mengatakan, setidaknya ada tiga dinamika politik kawasan yang bisa dipakai sebagai landasan pijak dalam memaknai pertemuan trilateral AS-Jepang-Filipina.

Pertama, pembentukan kerja sama  geopolitik strategis AUKUS (Australia, Inggris, dan AS). Para pengamat geopolitik internasional nyaris sepakat bahwa niat terselubung di balik pembentukan aliansi militer AUKUS adalah untuk menghadapi kebangkitan China di Laut China Selatan.

Sejak dinobatkan Bank Dunia sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2010, China pandai benar mengapitalisasi status itu untuk kepentingan ekonomi dan militer strategisnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Laut China Selatan.

“AS, sebagai kekuatan yang sudah lama bercokol di Asia Pasifik (resident power), tentu gusar dengan kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok (emerging power). Tak yakin aliansi militernya dengan Jepang dan Korea Selatan efektif membendung agresifitas China di Laut China Selatan, AS melihat urgensi untuk merangkul Jepang dan Filipina. Dalam konteks menghadang gerak laju China di Laut China Selatan inilah pertemuan trilateral AS-Jepang-Filipina bisa dipahami dalam perspektif geopolitik strategis,” katanya.

Kedua, rencana NATO membuka kantor penghubung di Jepang. Kantor  ini berfungsi  untuk mengkoordinasikan kebijakan politik, militer dan keamanan bersama mitranya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Dari teropong geopolitik strategis, manuver NATO ini ditengarai sebagai upaya mengimbangi agresivitas China menanamkan pengaruhnya di Asia Pasifik, terutama di Laut China Selatan. 

Baik juga diingat bahwa selama ini di Asia Pasifik tidak ada aliansi militer yang terlembaga atau established seperti NATO di kawasan Eropa. Boleh jadi fakta itu yang mendorong NATO mengambil langkah antisipatif  agar dapat mempengaruhi dinamika politik militer di kawasan Asia Pasifik.

“Patut diduga,  pembukaan kantor NATO ini memiliki keterkaitan strategis dengan aliansi militer   AS, Inggris dan Australia (AUKUS). Dan tujuannya, lagi-lagi, untuk menghadang China yang dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan sikap yang asertif dan agresif di Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan dan Selat Taiwan,” ujar Duta Besar dan Wakil Tetap Indonesia untuk PBB dan Organisasi Internasional lainnya di Wina, Austria ini. 

Terhadap perilaku China seperti itu bukan tidak mungkin NATO dengan AS sebagai prime-mover-nya dalam jangka panjang  (entah kapan) membujuk AUKUS untuk mentransformasikan dirinya menjadi aliansi militer di Asia Pasifik seperti NATO di Eropa. Karena itu, dalam perspektif ini, kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina boleh jadi akan menjadi bagian aliansi itu. Ini akan menambah “daya tekan” terhadap China.

Ketiga, keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional PBB atau Permanent Court of Arbitration (PCA) 2016. Badan tersebut memenangkan gugatan Filipina atas klaim China di perairan Laut China Selatan yang berbatasan dengan Filipina.

PCA memutuskan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan klaim historis China di Laut China Selatan yang ditandai dengan nine dash line tidak memiliki landasan hukum. Tapi China tidak menggubris keputusan PCA.

Mantan Duta Besar LBBP RI untuk Republik Polandia ini mengatakan, menyadari bahwa PCA tidak berwenang menerapkan keputusannya, China tetap melakukan patroli lautnya di perairan yang disengketakan sehingga memicu insiden dengan kapal Filipina.

 

Lemah dalam Hukum Maka Kekuatan yang Bicara

Pertanyaannya, mengapa China begitu asertif  untuk terus melakukan patroli laut dan mengusir kapal-kapal Filipina di wilayah laut yang disengketakan? Bukankah sudah diputuskan PCA bahwa wilayah laut itu adalah kedaulatan Filipina?

Dalam teori klasik Hubungan Internasional, kata Djumala, dikenal dua aliran atau school of thought dalam menyelesaikan konflik; yaitu realism dan legalism  (Edwin D. Williamson, Realism Versus Legalism in International Relations, 2002).

Dalam perspektif legalism, jelas China berada dalam posisi lemah. Sebab PCA sebagai lembaga internasional sudah memutuskan bahwa China tidak memiliki hak kedaulatan atas wilayah laut yang disengketakan  dengan Filipina.

Sudah menjadi rumus kehidupan politik: jika lemah dalam hukum (legal), maka kekuatan (power) yang bicara. Penggunaan kekuatan adalah salah satu ciri pendekatan realism.

“Dan itulah yang dimainkan China dalam menangani konflik wilayahnya dengan Filipina. Dalam hitung-hitungan kekuatan politik-militer, tentu China jauh lebih unggul dari Filipina. Itu yang membuat China agresif dan asertif dalam memproyeksikan kekuatannya di Laut China Selatan, khususnya terhadap Filipina,” ujarnya.

Lantas, apa hubungannya agresifitas China ini dengan aliansi strategis trilateral AS-Jepang-Filipina?

Thomas Schelling, ahli Hubungan Internasional dari Harvard University, Amerika Serikat, mengatakan dalam teori klasiknya tentang deterensi (Arms and Influence, 1966): penggunaan kekerasan dan pemaksaan secara diplomatik (dalam bentuk pernyataan) adalah cara untuk “mengubah perilaku musuh”.

Itu berarti, dalam situasi perang, musuh akan berpikir dua kali untuk menyerang balik jika mengetahui risiko yang akan dialami. Dalam konteks China-Filipina, China sengaja membuat pernyataan keras tidak mengakui keputusan PCA. Dibarengi pula dengan tindakan mengusir kapal Filipina dengan kekerasan dan tembakan meriam air pada Maret lalu dengan harapan agar Filipina takut untuk memasuki perairan yang di klaim China.

Pada titik itu, kata diplomat kelahiran 29 November 1958 itu mengatakan, sejatinya China sedang menjalankan teori deterensi Schelling; yaitu penggunaan kekerasan untuk mengubah perilaku musuh. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian: apakah Filipina menjadi takut?

Alih-alih menghentikan kegiatan patroli lautnya di wilayah yang disengketakan, Filipina malah bergabung dalam kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina.

Meski terlalu dini untuk memprediksi terjadinya perang terbuka di Laut China Selatan, konflik fisik dan insiden di laut  antara China-Filipina sangat mungkin bereskalasi. Karena itu, bisa dimaklumi, Filipina membutuhkan dukungan AS dan Jepang jika nanti satu saat konflik wilayah laut  menjadi konflik militer antara China dan Filipina.

Teori klasik perimbangan kekuatan (balance of power) mengajarkan adanya kekuatan pengimbang terhadap satu kekuatan yang lebih dominan akan mampu menjaga perdamaian relatif.

Seturut dengan teori itu, kata Djumala, dukungan AS dan Jepang terhadap Filipina dalam kerangka kerja sama militer trilateral diharapkan dapat menekan potensi konflik di Laut China Selatan untuk tidak bereskalasi menjadi perang terbuka.

“Perang harus dihindari. Sebab perang adalah kenistaan yang mengerdilkan kemanusiaan dan menghancurkan peradaban,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait