Oleh : Rudi S Kamri *)
Sebetulnya saat KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019 pada tanggal 21 Mei dini hari yang lalu, bagi saya kontestasi Pilpres 2019 sudah selesai. Selisih suara yang cukup signifikan 11% dan tidak adanya catatan kecurangan yang TSM dari Bawaslu, menurut saya drama Pilpres itu sudah usai dengan `happy ending`. Karena teriakan kaku tentang kecurangan yang disuarakan oleh kubu 02 juga tidak begitu meyakinkan. Malah terkesan mereka sudah terlihat tidak percaya diri, hal ini terbukti mereka tetap ngotot menggerakkan massa untuk protes ke Bawaslu dan telah berakhir sia-sia.
Kalaupun kubu 02 tetap menggunakan jalur konstitusional dengan mengajukan sengketa Pilpres melalui MK bagi saya hanya sekedar untuk untuk menutupi rasa malu karena selama ini mereka sudah terlanjur teriak-teriak ada kecurangan yang TSM dan brutal. Meskipun tanpa bukti yang nyata dan meyakinkan. Mereka selama ini ngotot menuduh Petahana menggerakkan aparatur negara seperti ASN dan pegawai BUMN untuk memenangkan Jokowi, toh kenyataannya menurut statement Moeldoko sekitar 72% ASN dan pegawai BUMN justru terindikasi tidak memilih Jokowi-MA.
Mereka juga menuduh KPU tidak netral. Tapi dalam kenyataannya tidak ada bukti yang sahih bahwa perangkat KPU mendukung salah satu Paslon. Bahkan ada beberapa indikasi temuan justru mengarah pada kecurangan yang dilakukan oleh kubu 02.
Saya melihat justru kubu Prabowo semakin hari malah terlihat mulai ditinggalkan kawan-kawan koalisinya. Partai Demokrat sudah ada indikasi kuat mulai berpindah ke lain hati. PKS pun suaranya sudah mulai sayup-sayup tak terdengar. Kalau pun PAN masih terkesan ngotot, itu karena ada faktor si tua Amien Rais yang tidak mau kehilangan muka karena selama ini dia paling nyinyir bahkan sok lancang menyalahkan Tuhan. Faksi Zulkifli Hasan juga sudah tampak mulai menjadi anak manis, apalagi faksi Bara Hasibuan justru mendorong PAN merapat ke kubu Jokowi.
Sedangkan penumpang kendaraan Prabowo dari kelompok Islam radikal juga sudah terlihat mulai melunak. Haykal Hasan sudah jadi anak manis. Bahkan junjungan mereka yang lagi hijrah semi permanen ke Arab Saudi konon sudah mulai memberi instruksi untuk mundur teratur menerima kenyataan sambil kembali menata barisan yang sudah tercerai-berai. Jadi praktis kekuatan dukungan Prabowo sudah melemah secara drastis dan signifikan.
Kalaupun ada gerakan inkonstusional yang ditenggarai "BERBAU MAWAR" yang membuat rusuh Jakarta 22 - 23 Mei lalu seperti hasil investigasi Majalah TEMPO, kekuatannya pun sudah terdeteksi oleh POLRI. Bahkan ada indikasi kuat sudah dilemahkan dan dirajang kecil-kecil oleh aparat intelijen dan POLRI. Kalaupun ada cukong dari Cendana (misalnya) yang masih mau ngotot mau berbuat onar, sudah pasti akan mudah dilibas habis oleh POLRI yang didukung penuh oleh Menteri Pertahanan dan TNI.
Harapan terakhir Kubu Prabowo adalah pada upaya para penasehat hukumnya. Dan saya prediksi dengan bukti-bukti yang sangat minim, mereka akan sulit membuktikan adanya kecurangan TSM dan brutal yang mereka tuduhkan. Tim penasehat hukum KPU yang diback-up penuh Tim penasehat hukum kubu Jokowi-MA yang dikomandani Yusril Ihza Mahendra saya prediksi akan mudah melibas tuntas mereka di persidangan MK.
Di sisi lain saya pribadi masih sangat percaya dengan integritas dan netralitas 9 hakim MK. Apalagi disana ada Hakim Prof. Saldi Isra, SH yang mempunyai rekam jejak berintegritas tinggi. Jadi perkiraan saya tanggal 28 Juni 2019 nanti adalah anti klimaks dari Pilpres 2019 yang penuh drama. Dengan keputusan MK yang bersifat "FINAL & BINDING" sudah tidak ada lagi upaya lain yang bisa dilakukan oleh kubu Prabowo selain mengibarkan bendera putih. Dan itu lebih elegan daripada tetap ngotot tidak jelas juntrungannya.
Lagian rakyat Indonesia sudah capek dengan berlarut-larutnya drama Pilpres 2019 ini. Saatnya kita kembali ke kehidupan yang normal sambil merajut kembali kebersamaan antar anak bangsa yang sempat terkoyak.
Pak Prabowo, sudahlah berhentilah dan beristirahatlah. Saya tahu di hati kecil Bapak juga sudah lelah, bukan ? So, jadilah tokoh oposisi yang elegan dan bermartabat daripada tetap ngotot tapi tak lagi kuat.
Salam SATU Indonesia
11062019
*) Rudi S Kamri, penulis adalah pengamat sosial dan politik tinggal di Jakarta