Opini

Bakti melalui Ndalem Natan

Oleh : luska - Rabu, 24/07/2024 19:41 WIB


Oleh: Swary Utami Dewi 

Selasa, 23 Juli 2024, aku bersama anakku, Rama, bertandang ke Ndalem Natan, kediaman Bang Nasir Tamara dan Mbak Ita Budhy di Kotagede, Yogyakarta. Ada pula pelukis kenamaan, Mbak Arahmaiani,.yang saat itu sedang bertamu dan mengobrol santai bersama Mbak Ita.

Ndalem atau Rumah Besar tersebut beralamat di Jalan Mondorakan Nomor 5, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Heritage ini menawarkan kisah di setiap sudut bangunan dan kamar yang ada. Ndalem Natan berdiri sejak 1857 dan dimiliki oleh seorang saudagar kaya di wilayah ini pada masa itu. Rumah tersebut memiliki banyak kamar dan berhalaman luas. Gempa dahsyat di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006 meluluhlantakkan banyak bagian rumah. Sang pemilik kala itu tak sanggup membenahi hingga kemudian mansion ini beralih tangan ke Nasir Tamara dan sang istri. Diperlukan waktu selama lima tahun untuk membangun kembali rumah ini seperti aslinya. Dan kini, Ndalem Natan menawarkan lebih dari sekedar legasi dari keindahan rumah besar, yang sudah berusia lebih dari 150 tahun.

Anakku, Rama, begitu girang bisa menikmati suasana lama Kotagede, Yogyakarta, yang diwakili oleh Ndalem Natan. Kejayaan para saudagar emas dan perak di masa lampau seolah hadir kembali saat menyaksikan langsung kecantikan dan keunikan rumah ini. Beranda depan yang luas, dilengkapi dengan beberapa meja kursi bernuansa antik, menampilkan hawa royal di halaman dan bagian depan rumah. 

"Rumah ini bertasbih,' jelas Mbak Ita. Ya, ternyata memang bertasbih. Nuansa dan simbol keislaman ditemui di banyak lekuk rumah. Di tiang-tiang rumah ada semacam ukiran serupa nanas. Kata Mbak Ita, itu melambangkan Surat An-Nas dalam Al-Qur'an. Surat  yang terdiri dari enam ayat itu, di antaranya berisi seruan kepada umat manusia untuk memohon perlindungan kepada Allah, Sang Rabb yang menciptakan dan menjaga manusia dengan nikmat dan kasih sayang-Nya. 

Mbak Ita juga menunjukkan pola mirip tanaman kol di atas pola nanas. Kol di sini dikaitkan dengan kata Qolbu. Aku mencari pengertian Qolbu dalam bahasa Arab, yang ternyata memiliki makna banyak, seperti jantung, hati, isi, akal, semangat, keberanian, inti, bagian dalam, dan sesuatu yang murni. Di bagian jendela atas dan jeruji-jeruji rumah banyak ditemui pola bulan dan bintang sebagai lambang Islam. Jadi tidak salah ternyata jika saat awal tadi mbak Ita mengatakan rumah ini bertasbih, menyerukan kebesaran dan kasih sayang Ilahi kepada manusia dan alam semesta.

Anakku, Rama, sejak pertama menginjak Ndalem Natan, menunjukkan ketertarikan dan minatnya terhadap sejarah rumah ini dan apa yang sekarang ada. Dengan tekun ia mendengar cerita Mbak Ita, yang dengan sabar mengajak aku dan Rama berkeliling menelusuri seluk-beluk rumah besar tersebut. Berbagai benda antik dan unik ada di Ndalem (Rumah Besar) tersebut. Kami sempat melongok kamar utama yang dulu ditempati oleh penghuni lama. Di situ, ada tempat tidur asli yang besar dan lebar, berukuran 2.5 x 2,5 m2. Ada kursi goyang milik Paku Buwono X, beserta meja tamu milik keluarga bangsawan ini. Kamar-kamar lain dibenahi dengan kelengkapan ranjang besar, lemari dan meja antik serta perangkat yang lazim ditemui di kamar. 

Di setiap pojok rumah ada rak dan meja kecil, yang menyuguhkan berbagai benda antik dan unik. Ada piring, gelas, teko dan berbagai produk tembikar kuno lainnya. Di sisi dekat dinding juga ada beberapa batik terpajang. Di dinding tentu saja ada lukisan-lukisan unik. Ada pula benda-benda "canggih" lama yang mungkin sekarang sudah jarang ditemui seperti gramofon, radio, telepon, pemutar film dan sebagainya. Beberapa benda ada yang tergolong baru, belasan atau puluhan tahunan. Tapi tentu saja dipajang dengan alasan artistik dan unik. Intinya, semua yang hadir di sini berbeda dari yang lain.

Itulah galeri sekaligus museum mini yang merupakan inti dari Ndalem Natan. Di bagian luar rumah ada beberapa bangunan kecil, yang dijadikan toko buku (Indonesia dan Inggris secara terpisah) dan kafe kecil. Semua tetap dalam sentuhan anggun karena beraura klasik.

Hampir tiga jam, aku dan Rama di sini. Suguhan wedang tradisional, lasi stroberi, bitterballen, kue kering lemon dan kue jahe makin menambah keunikan kunjungan kami ke Ndalem Natan. Menjaga nilai tinggi budaya dan seni tidaklah mudah. Perlu bakti tersendiri untuk melakukannya. Bang Nasir Tamara dan Mbak Ita, sang tuan rumah yang baik, sudah menunjukkan bakti itu.

Artikel Lainnya