INDONEWS.ID

  • Selasa, 11/06/2019 17:12 WIB
  • Radikalisasi Lewat Medsos, Pemerintah Harus Lakukan Aturan Ketat Terhadap Penyedia Platform

  • Oleh :
    • very
Radikalisasi Lewat Medsos, Pemerintah Harus Lakukan Aturan Ketat Terhadap Penyedia Platform
Kepolisian Negara Indonesia (Polri) memprediksi terorisme dan radikalisme masih menjadi masalah yang berpotensi sebagai gangguan utama keamanan dan ketertiban masyarakat tahun 2019. 

Jakarta, INDONEWS.ID – Media sosial (medsos) dengan berbagai fenomenanya terus menimbulkan kehebohan di masyarakat. Belum adanya aturan main yang tegas, menjadikan medsos tetap menjadi bola liar yang bergerak bebas dengan berbagai ekses, baik positif maupun negatif.

Medsos pula yang membuat proses pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) menjadi ‘gaduh’ dengan hoaks, adu domba, ujaran kebencian. Terakhir kasus bom bunuh dirih di Pos Polisi Kartasura dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, dimana pelakunya teradikalisasi secara online.

Baca juga : Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora

“Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization,” ujar Staf Ahli Menkopolhukam Dr. Sri Yunanto di Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Selain itu, ungkap Yunanto, dalam banyak diskusi publik dan kejadian terorisme, juga terungkap keberadaan lone wolf (aksi terorisme yang dilakukan sendirian). Tapi, itu juga sulit dibilang lone wolf, karena bisa jadi mereka lebih dulu terkait jaringan JAD atau JAKD, baru kemudian terjadi radikalisasi melalui online.

Baca juga : PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok

Menyikapi radikalisasi via online atau medsos ini, lanjut Yunanto, pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya. Pasalnya, perkembangan media online itu merupakan bagian dari kebebasan media melalui online yang faktanya tidak hanya membawa pengaruh baik, tetapi juga pengaruh buruk seperti pornografi, perjudian, dan terorisme.

“Inilah masalahnya karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja. Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” ungkap pakar Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

Ke depan, lanjut Yunanto, masalah ini harus jadi agenda bersama untuk mengatasinya. Pertama bagaimana mengatasi kebebasan medsos, yang kontrolnya dibawah pemerintah dengan tetap bekerjasama dengan provider penyedia platform.

Ia mencontohkan, di Jerman platform yang memuat konten negatif bisa kena denda sampai Rp6 miliar. Dan itu cukup efektif untuk mengerem keberadaan konten-konten negatif, terutama terorisme.

“Artinya, kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening, mereka pasti akan bangkrut kena denda. Saya rasa cara itu bisa diterapkan di Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, langkah ini harus menjadi agenda bersama misalnya apakah UU ITE yang direvisi atau dibuat Peraturan Pemerintah. Pasalnya, kalau tidak begitu, medsos akan menjadi tempat penyebaran konten negatif yang provokatif terutama radikalisasi.

Yunanto menilai, apa yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan melakukan banyak take down atau penutupan website sifatnya hanya reaktif saja dan terkesan sering ketinggalan. Misalnya, yang di take down 10 website, yang muncul 100 website lagi.

“Kalau terus begini kita pasti keteter. Baiknya masyarakat berani mengeluarkan ide dan mengajak para politikus untuk membuat terobosan. Soalnya kalau yang melakukan pemerintah, pasti dituduh macam-macam. Intinya sekarang penyedia platform harus punya tanggungjawab,” tegasnya.

Ia menegaskan, bila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten mereka, tentu itu akan lebih memudahkan dalam mewaspadai radikalisasi melalui medsos ini. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator harus bisa memperkuat, apalagi sudah ada fatwa MUI soal tata cara bermedsos yang bijak.

“Kalau tiga-tiganya bersinergi Insya Allah bisa kita tekan cyber crime termasuk extre ordinary crime berupa Ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos,” pungkas Sri Yunanto. (Very)

 

Artikel Terkait
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Artikel Terkini
HOGERS Indonesia Resmi Buka Gelaran HI-DRONE2 di Community Park, Pantai Indah Kapuk 2
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas