Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI, Pudjo Hartono, mengatakan pihaknya mendukung penghukuman seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan dengan landasan dampak terhadap korban yang dialami seumur hidupnya. Namun, hukuman kebiri oleh dokter berarti melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia.
"Masalah hukuman tambahan yaitu kebiri yang rasanya buat kami dari IDI karena kita bekerja dalam koridor etik, sumpah, itu yang tidak memungkinkan," ujar Pudjo Hartono melansir BBC Indonesia senin (26/8/2019).
Hal itu dikatakannya menyusul mencuatnya polemik Hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto kepada pelaku pemerkosaan anak, Aris yang hingga kini belum bisa dilakukan karena masih membutuhkan petunjuk teknis dari dokter.
Wacana hukuman kebiri kimia sendiri pertama kali mencuat pada pemerintahan mantan presiden Susilo Bambang Yudhyono. Lantas pada Mei 2016, usulan ini kembali menguat menyusul kasus pemerkosaan terhadap Yuyun, seorang siswa SMP di Bengkulu. Yuyun menjadi korban oleh pelaku yang berjumlah 14 orang.
Pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu tentang Perlindungan Anak yang menyebut tiga tambahan hukuman yakni kebiri kimia, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Jokowi berharap, Perppu itu membuat efek jera terhadap pelaku.
"Saat kita melakukan kajian tahun 2016, dengan referensi macam-macam apakah tindakan dengan suntik itu bisa menyelesaikan masalah? Itu kan masih tanda tanya," sambungnya.
"Jadi intinya kita semua harus ketemu lagi untuk membahas masalah ini."
Sementara itu, dokter ahli andrologi Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, menjelaskan kebiri kimia berarti menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang. Tujuannya menurunkan hormon testosteron dengan begitu gairah seksual akan hilang.
Akan tetapi, efek dari pemberian suntikan itu, kehidupan orang tersebut secara keseluruhan akan terganggu.
"Misalnya yang ringan, dia bertambah gemuk, lemak makin banyak, otot berkurang. Kemudian tulang keropos. Kalau diteruskan akan terjadi kurang darah. Fungsi kognitif terganggu. Hidupnya jadi tidak bagus," jelas Wimpie Pangkahila.
Agar betul-betul hormon testosteron tersebut menurun atau hilang, kata Wimpie, penyuntikkan dilakukan berkali-kali. Biaya yang dikeluarkan pun, bervariatif.
"Tergantung jenis obatnya, ada yang murah atau terjangkau. Kalau pakai obat yang harga terjangkau, mungkin lima kali (suntik) mulai terasa."
Tapi, ia mewanti-wanti bahwa seseorang yang telah disuntik kebiri bisa kembali normal.
"Kalau misalnya orang itu ke dokter terus dokter tidak tahu dia sedang dihukum (kebiri), dia lalu minta pertolongan maka dokter itu bisa mengembalikan hormon itu asal belum terlalu buruk," jelasnya.
"Jadi kalau dikembalikan, kembali lagi dia." tambahnya.*(Rikardo)