INDONEWS.ID

  • Sabtu, 28/09/2019 06:37 WIB
  • Wangsit Presiden RI vs Presiden BEM

  • Oleh :
    • hendro
Wangsit Presiden RI vs Presiden BEM
Christianto Wibisono

Jakarta, INDONEWS.ID - Suksesi kepresidenan Indonesia mengalami dua kali people power dan beruntung Presiden ketiga adalah demokrat modern yang tidak bersedia dicalonkan ketika laporan pertanggung jawaban-nya ditolak oleh MPR 1999. Waktu itu kalau mengotot voting mungkin masih bisa memperoleh suara lumayan. Tapi  Habibie berjiwa negarawan dan menunjukkan moral etika politik demokrat.

Karena sudah tidak dipercaya oleh MPR maka ia tidak bersedia dicalonkan. Yang terjadi justru capres koalisi Reformasi malah berebut kursi presiden. Terjadilah anomali Poros Tengah  mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke-4  meski partainya (PKB) hanya memperoleh  11 %  kursi dan kalah dari partai terbesar PDIP . Sambil terkekeh Gus Dur bilang ia naik jadi presiden dengan modal dengkulnya orang lain yaitu Ketua MPR Amien Rais.  Kongsi “dengkul sikut” ini hanya berumur 21 bulan (Oktober1999- Juli 2001). Lalu Amien Rais memimpin pemakzulan Gus Dur dan pengangkatan Megawati sebagai presiden ke-5, pada 23  Juli 2001.

Baca juga : Sudah Dibatalkan MK, Partai Buruh Akan Gugat Aturan Pencalonan Pilkada

Putri Presiden pertama ini hanya menjabat 39 bulan sampai 20 Oktober 2004. Ia dikalahkan oleh mantan menterinya, Jendral Susilo Bambang Yudhoyono  yang baru mengumumkan pencalonan pada 11 Maret 2004 setelah menerima kunjungan Menteri Keamanan Nasional AS di Merdeka Barat. SBY  berduet dengan Jusuf Kalla menjadi  presiden periode 2004-2009. Megawati yang berduet dengan Ketum NU Hasyim Muzadi kalah pada putaran kedua. Untuk periode kedua, Presiden SBY memilih mantan Gubernur BI Boediono sebagai wapres dan mengalahkan pesaing lain dalam satu putaran pada 2009.

Jika dimasa lampau elite politik sempat terperoksok pada langkah pemberontakan dan kudeta, maka setelah kudeta G30S dan epilognya, pembunuhan politik sudah hilang. Meskipun masih ada peristiwa kekerasan berdarah yang terjadi sporadis insidensial. Setelah Reformasi, dengan pembatasan masa jabatan presiden dan keterbukaan sistim multi partai. Maka orang tidak perlu bersekongkol selingkuh mau mengganti presiden, sebab memang pemilu diadakan untuk memilih presiden baru yang terbatas 2 termin.  

Baca juga : Pj Gubernur Agus Fatoni Lepas Keberangkatan 445 Jemaah Calon Haji Kloter Pertama Embarkasi Palembang

Pada pemiu 2014 terjadi polarisasi dwipartai sistim dengan kemenangan Presiden ke-7 yang berasal dari kelompok non elite, mantan pengusaha mebel dari Solo melalui jenjang walikota, gubernur DKI langusng ke Presiden. Sebetulnya trend global memang walikota atau gubernur ibukota bisa langsung melejit jadi Presiden.  Jacques Chirac yang baru meninggal 27 Sep 2019 kemarin dari Walikota Paris jadi PM dan Presiden Prancis. 

Boris Johson dari Walikota Lonon jadi PM Inggris.  Lee Young Bak dari Walikota Seoul ke Presiden Korea Selatan,  Ahmedinejad dari walikota Teheran ke Presiden Iran. Jadi jika sekarang Gubernur Anies Baswedan dirangkul Ketum Nasdem  Surya Paloh untuk diorbitkan 2024 menjadi capres ya itu memang trend global yang tidak terhindarkan.

Baca juga : Pos Mahen Satgas Yonif 742/SWY Ajari Murid SDN Baudaok Cara Mengolah Sampah Plastik

Fast forward ke minggu terakhir September 2019 memasuki minggu pertama Oktober 2019 menjelang hari H pelantikan Presiden 20 Oktober 2019. Berdasarkan pengalaman sejarah suksesi Indonesia yang penuh intrik, manipulasi dan persekongkolan elite yang tega mengorbankan martir seperti 1966 dan 1998. Yang terbukti masih berjalan dengan insiden Bawaslu dan insiden September 2019.

Kita semua memang harus berdoa dan mohon kiranya elite Indonesia termasuk mahasiswanya belajar untuk tidak mengulangi karma sejarah selingkuh dan kudeta politik 1996, 1998. Dan atau model  konflik pilgub DKI dan pilpres 2014 – 2019 yang nyaris menjerumuskan eksistensi Republik Indonesia yang beruntung masih survive dan tidak bubar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

Trend global memang memperlihatkan ketidaksabaran untuk menghormati term jabatan lawan politik. Ibarat main sepakbola, orang kan harus menghormati  waktu dan tidak setiap menit ganti pemain. Biarkan presiden menyelesaikan masa jabatan dan tidak mudah menuntut pemakzulan seperti yang sedang terjadi di AS sekarang.  Yang lebih mencolok lagi di Indonesia, proses intra elite sangat tertutup dan bisa menghasilkan proses Ken Arok yang menyedihkan.

Mei 1963 MPRS mengangkat Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup hanya untuk dipecat oleh MPRS 1966. Yang hanya  mengganti sebagian anggota Sukarnois dan kiri. MPR hasil pemilu 1997, yang memilih Soeharto untuk masa jabatan 1998—2003 pada 14 Maret 1998 akan memakzulkan  Presiden Soeharto yang  berhenti 21 Mei 1998. Selanjutnya MPR hasil pemilu 1999 menyetop jalur Megawati jadi presiden, disalip Gus Dur dan kemudian balik lagi 2001.

  Pasca pilpres 2014 juga terjadi bolak balik sikap koalisi oposisi merangkul pemerintah dan sekarang juga masyarakat bingung. Mengapa setelah rujuk di MRT Lebak bulus antara Presiden petahana Jokowi dengan pesaing Prabowo, kok bisa meletus lagi demo berkekerasan berdarah seperti 23-25 September 2019.   

Dalam demo berdarah ini partai politik tidak muncul massa dan kadernya. Kemudian muncul gerakan moral 7 tokoh lintas agama dan 42 tokoh masyarakat  pada Kamis 26 Sep utk meredam demo dengan usulan Perppu sambil membuka dialog dengan mahasiswa. Ternyata mahasiswa malah menentukan syarat tidak bersedia dialog di Istana tapi ditempat netral publik diliput  di TV.

Masalah balik pro dan kontra usulan Perppu tentu bersifat lebih “fundamental”. Benarkah elite Indonesia menghormati pemilu dan tidak memakai segala cara untuk “memakzulkan” presiden terpilih. Seandainya Presiden mengeluarkan Perppu, terus ditolak oleh parlemen. Kemudian MPR yang dikuasai elite yang tidak jelas loyalitasnya, bisa saja memaksakan opsi “Habibie kedua”,  Skenario ini adalah daur ulang mirip penolakan laporan pertanggung jawaban Habibie berdampak Habibie mundur. Hari ini Jumat 27 Sep 2019 memang belum kelihatan move pemakzulan itu. 

Bila elite tega seperti riwayat MPRS 1966 dan MPR 1998 serta MPR 1999, bukan mustahil bisa terjadi skenario penolakan Perppu berbuntut pemakzulan dan pergantian presiden. Elite Indonesia mempunyai sejarah “tega” menjadi Ken Arok satu sama lain. Sebagai pengamat yang mengenal pribadi ke7 presiden Indonesia dan ikut mengalami sebagai peliput (wartawan 1966) dan pengamat 1998 serta terus memelihara hobby pengamatan dalam buku Kencan dengan Karma saya waswas. Sedang terjadi karma yang mungkin diluar dugaan masyarakat. 

Seperti penolakan BEM atas gesture Presiden menerima di Istana, itu suatu perebutan wangsit. Persis seperti ketika May Jen Soeharto menolak dipanggil Presiden Panglima Tertinggi Sukarno ke Halim 1 Oktober 1965. Sejak saat itu sebetulya wangsit sudah pindah dari Bung Karno ke Jendral Soeharto.  Sayang bahwa wangsit 49 pendekar (7 agama dan 42 sesepuh diatas 70 tahun) “disikapi” secara arogan oleh “Presiden BEM”. (Penulis : Christianto Wibisono penulis buku Kencan dengan karma)

Artikel Terkait
Sudah Dibatalkan MK, Partai Buruh Akan Gugat Aturan Pencalonan Pilkada
Pj Gubernur Agus Fatoni Lepas Keberangkatan 445 Jemaah Calon Haji Kloter Pertama Embarkasi Palembang
Pos Mahen Satgas Yonif 742/SWY Ajari Murid SDN Baudaok Cara Mengolah Sampah Plastik
Artikel Terkini
Sudah Dibatalkan MK, Partai Buruh Akan Gugat Aturan Pencalonan Pilkada
Update Banjir Bandang di Agam, Korban Meninggal 19 Orang
KNKT Minta Semua Pihak Buat Rencana Perjalanan Wisata yang Baik dan Bijak
Akibat Banjir Bandang Di Tanah Datar, 8 warga Tewas dan 12 Orang Masih dinyatakan hilang
Pj Gubernur Agus Fatoni Lepas Keberangkatan 445 Jemaah Calon Haji Kloter Pertama Embarkasi Palembang
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas