Oleh : Ferdinand Agung
INDONEWS.ID -- Konflik di Papua sangatlah kompleks dengan berbagai dimensi elemen yang saling terkait, keseriusan upaya pemerintah menyelesaikan meredam konflik secara simultan terus dilakukan. Namun demikian, secara struktural dapat dicermati oleh masyarakat Papua sendiri bahwa konflik horizontal ini sering kali dilatarbelakangi oleh kepentingan elite politik lokal di Papua dalam mencari keuntungan bagi kelompoknya dan bagi keluarga besar suku mereka sendiri ketika dalam momentum Pilkada ataupun konteks melestarikan distribusi logistik dana otonomi.
Pertanyaan siapa yang sebetulnya penjajah di tanah papua yang selama ini dinarasi dipaksakan oleh kelompok kepentingan di tanah Papua agar dapat diterima rakyat Papua bahwa pemerintahlah sebagai penjajah. Papua menjadi bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) 1969. Sejarah Papera itu, hingga kini masih diperdebatkan dan di diskusikan terfokus, tata cara pelaksanaan Pepera tersebut, yang sebagian elite politik lokal untuk terus dikontraksi ditengah-tengah masyarakat Papua adalah tidak sepenuhnya sah.
Strategi kelompok elite politik lokal di Papua untuk menarik perhatian masyarakat International menjelang pertemuan tahunan Sidang Majelis Umum PBB akhir September 2019, munculnya aksi demonstrasi berujung ricuh di Wamena pada 23 September 2019 yang meluas ke wilayah Papua lainnya seperti Manokwari, Sorong dan Jayapura.
Letupan konflik berbasis sara ini, didesain agar isu Papua dibahas di pertemuan PBB. Namun pada akhirnya masyarakat internasional lebih cermat dan mendalam melihat kejadian itu sebagai upaya provokatif. Akhirnya fora internasional mendukung langkah-langkah keseriusan pemerintah Indonesia membangun tanah Papua. Bahkan lebih dari itu, masyarakat internasional mendukung Indonesia menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2020-2024.
Kegagalan kampanye hitam yang dilakukan oleh aktor elite politik di Papua tersebut untuk menutupi kegagalan mereka dalam membangun masyarakat Papua itu sendiri. Sangat besar Dana Alokasi Umum dan Khusus yang digelontorkan pemerintah setiap periode pemerintahan yang semuanya berbasis UU Otonomi Khusus Papua sebenarnya sudah bagus, apalagi soal pembentukan Majelis Rakyat papua (MRP), yang merupakan perwakilan seluruh suku yang terdapat di Papua.
Sayangnya, peluang dan perhatian yang sangat besar tersebut belum dimaksimalkan oleh kelompok kepentingan yang masih terus merawat isu-isu untuk menekan pemerintah pusat. Semestinya sudah saatnya generasi muda Papua bangkit melakukan perang pemikiran dan kebatinan untuk menyelematkan masyarakat Papua yang terus dikondisikan terpuruk secara ekonomi dan sosial budaya oleh aktor kepentingan tersebut. Perlu digarisbawahi selama 2002-2018 pemerintah pusat telah mengucurkan dana 98,395 triliun. Anggaran ini masih ditambah dengan bagi hasil dari minyak dan gas, sehingga total dana buat Papua mencapai Rp 105 triliun.
Melawannya dengan terus melakukan diskusi bertema sejauhmana implementasi Otsus disertai pendanaan yang dilakukan kuasa di tingkat lokal menyentuh sasaran dalam pemberdayaan masyarakat dalam segala dimensinya.
Sudah saatnya generasi milenial Papua menjelang momentum Pilkada Serentak 2020, melakukan evaluasi dan penyesuian definisi mengelorakan nasib sendiri (self determination) dalam cakrawala kekinian yaitu kebijakan pro otonomi bukan dana bagi-bagi proyek yang sarat pemburuan rente. Arti riilnya, setiap aspek regulasi dari produk lokal dikawal ketat masyarakat agar dapat memberikan nilai tambah kemajuan dari aspek SDM dan kualitas pembangunan fisik di Papua.
Pemerintah pusat sudah memberikan ruang kebebasan dengan payung hukum terhadap kebijakan Pemerintah lokal sebagai eksekutor hilir untuk dapat menjawab berbagai permasalahan pengelolaan Dana Otsus. Bagaimana cara merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif dan humanis agar dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki nilai edukasi bagi masyarakat Papua.
*) Penulis adalah peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Ekonomi Politik Wilayah