INDONEWS.ID

  • Minggu, 05/01/2020 18:50 WIB
  • Ini Spekulasi yang Muncul Terkait Klaim China Atas Natuna

  • Oleh :
    • very
Ini Spekulasi yang Muncul Terkait Klaim China Atas Natuna
Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- China kembali berulah di Natuna. Kapal berbendera China masuk ke perairan Natuna tanpa izin. China bersikukuh bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan bahwa Perairan Natuna termasuk dalam Nine-Dash Line China. China menganggap bahwa wilayah Laut China Selatan seluas 2 juta km persegi dalam Nine-Dash Line adalah hak maritim historisnya.

Baca juga : Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD

Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan bahwa sikap tegas Pemerintah Indonesia yang tidak akan pernah mengakui Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China sudah tepat.

“Natuna telah jadi milik Indonesia sesuai dengan ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (5/1).

Baca juga : Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional

Ulah China di Laut China Selatan, kata Stanislaus, juga dilawan oleh Filipina. Filipina membawa sengketa Laut Cina Selatan ke Permanent Court of Arbitration karena menentang Nine Dash Line. Pada 12 Juli 2016 Permanent Court of Arbitration menyatakan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Keputusan ini juga menjadi dasar hukum bagi kedaulatan Indonesia atas Natuna.

Menurut alumnus Universtas Universitas Indonesia itu, area dalam Nine-Dash Line yang diklaim China seluas 2 juta km persegi di Laut Cina Selatan terdiri dari wilayah laut Indonesia di Natuna, laut Filipina, laut Malaysia, laut Vietnam, dan laut Brunei. Jauh sebelum putusan Permanent Court of Arbitration, pada tahun 2009, China sudah pernah mendaftarkan Laut China Selatan sebagai wilayahnya ke PBB. Tapi ditolak karena China tak bisa menjelaskan dasar hukum yang valid.

Baca juga : Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua

Sikap tegas  Indonesia terhadap agresi China di Natuna yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri sangat tepat. Retno LP Marsudi menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui klaim sepihak China atas teritorial lautnya yang disebut Nine Dash Line. Presiden Joko Widodo melalu Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman juga menegaskan tidak akan kompromi dalam mempertahankan kedaulayan Indonesia.

“Pernyataan Presiden dan Menteri Luar Negeri tersebut tentu sekaligus mematahkan pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang terkesan lebih lunak dengan mempertimbangkan aspek persahabatan. Selain itu Presiden dan Menteri Luar Negeri juga meluruskan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan yang mempertimbangkan aspek investasi,” ujarnya.

Stanislaus mengatakan, sikap China yang melanggar kedaulatan Indonesia selain disikapi dengan tegas juga perlu dicari faktor penyebabnya. Berbagai spekulasi muncul atas sikap China tersebut.

“Namun tindakan agresif China yang terjadi pasca kuatnya aksi di Indonesia atas isu Uyghur tidak bisa dibantah. Indonesia juga harus membangun kekuatan militer yang lebih baik. China tentu tidak akan berulah jika sasarannya mempunyai  militer yang kuat. Dalam kasus di Natuna bisa saja China memang meremehkan kekuatan militer Indonesia, apalagi jika respon Indonesia melunak,” katanya.

Menurut Stanislaus, isu tentang sikap China ini juga perlu diwaspadai dampaknya di Indonesia. Menurutnya, adanya kelompok tertentu di Indonesia yang mempunyai sentimen negatif terhadap China bisa berkembang menjadi aksi yang negatif.

“Sentimen yang sudah dipicu oleh isu Uyghur bisa semakin berkembang dengan sikap China di Natuna. Isu-isu tersebut harus dikelola dengan baik supaya tidak menjadi faktor pendorong terjadinya unjuk rasa, konflik SARA maupun aksi teror,” ujarnya.

Natuna adalah wilayah Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam dan letaknya sangat strategis. Sikap tegas perlu dilakukan untuk menjaga dan mengelola wilayah tersebut dengan baik. “Jika sikap Indonesia lemah, termasuk karena tekanan persahabatan dan investasi, maka jangan berharap wilayah tersebut dapat dipertahankan,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua
Artikel Terkini
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas