Oleh: Fikri Syariati*)
INDONEWS.ID -- Sebanyak 270 daerah akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada tanggal 23 September 2020. Jika dirinci, terdapat 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang akan menyelenggarakan hajatan terbesar demokrasi di Indonesia pada tahun 2020 ini. Berbagai potensi kerawanan disinyalir akan muncul dan mewarnai pesta politik akbar rakyat Indonesia tersebut, dimana salah satunya yang paling menonjol adalah permasalahan politik uang.
Sejatinya, politik uang bukanlah permasalahan baru dalam dunia kepemiluan Indonesia. Pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, Bawaslu RI menemukan sebanyak 92 kasus praktik politik uang terjadi pada masa kampanye, dengan sebaran kasus di 21 kabupaten yang terletak di 10 provinsi; sebanyak 311 kasus politik uang pada masa tenang, dengan sebaran kasus di 25 kabupaten/kota yang terletak di 16 provinsi; dan sebanyak 90 kasus politik uang pada hari H pemilihan berlangsung, dengan sebaran kasus di 22 kabupaten yang terletak di 12 provinsi. Sementara itu pada Pilkada Serentak 2017, Bawaslu RI menemukan sebanyak 600 kasus dugaan politik uang di 101 daerah yang melaksanakan Pilkada. Adapun pada Pilkada Serentak 2018, Bawaslu RI mencatat setidaknya 35 kasus politik uang di 171 daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
Temuan Bawaslu RI sejak 2015 hingga 2018 tersebut seakan memperlihatkan semakin berkurangnya permasalahan politik uang dalam Pilkada Serentak. Padahal kenyataannya, politik uang adalah salah satu permasalahan yang paling sulit terungkap karena kesulitan dalam pembuktiannya, dan adanya intimidasi kepada saksi/korban yang berupaya mengungkap. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa angka-angka diatas hanyalah puncak gunung es (tip of the iceberg) karena banyaknya kasus yang tidak terdeteksi pihak pengawas Pilkada maupun Apkam sebagai organ pengamanan Pilkada.
Maraknya kasus politik uang yang terjadi di Indonesia bahkan sempat membuat Mendagri Tito Karnavian melontarkan wacana mengevaluasi Pilkada Langsung. Menteri Tito bahkan berpendapat bahwa sistem Pilkada Langsung membuat Paslon mengeluarkan ongkos politik yang amat besar sehingga tidak mengherankan jika banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Terkait wacana tersebut, Menteri Tito mengeluarkan tiga opsi, yaitu tetap Pilkada Langsung dengan meminimalisir efek negatifnya, Pilkada dikembalikan ke DPRD, atau Pilkada Asimetris yaitu sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme Pilkada antar daerah.
Tentunya wacana yang dilontarkan Menteri Tito tersebut bukanlah solusi untuk mengatasi permasalahan politik uang. Hal ini dikarenakan Pilkada Tidak Langsung hanya akan memindahkan perputaran uang dari para bohir politik (pemilik modal) yang tadinya langsung kepada rakyat, berganti menjadi kepada para anggota Parlemen. Kita juga tidak bisa menjamin bahwa ongkos politik yang akan dikeluarkan para Paslon tersebut menjadi lebih kecil jika Pilkada Tidak Langsung dilaksanakan.
Lalu bagaimana mengatasi permasalahan politik uang yang terjadi? Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, mereformasi sistem Parpol yang saat ini bernuansa oligarkis menjadi bernuansa demokratis dengan menerapkan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan Parpol. Kedua, membatasi dana kampanye Paslon diiringi dengan audit dana kampanye yang dilakukan akuntan publik terpercaya. Ketiga, melakukan pemberdayaan politik masyarakat dengan melibatkan tokoh agama anti politik uang untuk melakukan sosialisasi mengenai bahaya politik uang dalam dimensi agama. Keempat, pemberian sanksi pidana maupun perdata hingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku politik uang, bahkan jika memungkinkan pelaku politik uang tidak diperkenankan mencalonkan diri kembali dalam Pilkada selanjutnya. Kelima, memberikan insentif serta perlindungan kepada masyarakat yang mau dan mampu mengungkap kasus politik uang yang terjadi di lingkungannya.
Praktik politik uang amat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena mereduksi nilai demokrasi substansial menjadi demokrasi prosedural. Jika terus dibiarkan, demokrasi Indonesia berpotensi mengalami setback atau kemunduran ke masa otoritarianisme, yang tanda-tandanya sudah semakin terlihat saat ini. Kita tentunya tidak menginginkan kembali ke masa tersebut, sehingga menghilangkan praktik politik uang menjadi wajib hukumnya bagi setiap warga negara Indonesia.
*Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik