Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia kembali menggelar pilkada serentak pada 2020 ini. Politik dinasti kembali menggeliat dalam proses pilkada kali ini.
Menyikapi adanya gejala "politik dinasti" di Indonesia dengan majunya anak, menantu Presiden RI dan Wakil Presiden RI di pilkada 2020, pengajar politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit berpendapat, di negara majupun dinasti politik juga terjadi. Namun di negara tersebut, politik dinasti berguna membantu pembentukan kepemimpinan dan pemimpin politik, seperti John F Kennedy.
Karena itu, menurut Arbi, politik dinasti tidak mendistorsi demokrasi bila proses pembentukannya mandiri, tidak menggunakan pengaruh apalagi otoritas (kekuasaan) penguasa. Disinilah persoalan dinasti politik di Indonesia, seperti dialami oleh anak dan menatu Presiden Jokowi.
"Terkait Kaesang, presiden malah mendatangi ketua DPC PDIP Solo, lalu mengubah sikap menolak jadi mendung dan malah siap jadi pendamping calon. Terbukti dinasti merusak demokrasi, karena kekuasaan besar menekan kekuasaan lokal," katanya kepada Indonews di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Selain adanya penyalahgunaan (korupsi) kekuasaan politik, Arbi menjelaskan, praktek dinasti yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming Raka juga merusak budaya politik generasi muda. Lebih dari itu praktek politik dinasti keluarga presiden Jokowi juga merosotkan kepercayaa dan penghormatan setidaknya kalangan publik Indonesia.
Karena itu kemenanangannya akan mengalami kecurigaan dan ketidakpercayaan politik. "Maka akan membahayakan masa depan demokrasi lokal dan Indonesia," tutupnya. (Asri Hadi)