INDONEWS.ID

  • Jum'at, 13/03/2020 13:01 WIB
  • Lima Tahun UU Desa, Penyederhanaan Pelaksanaan UU Desa Mendesak Dilakukan

  • Oleh :
    • very
Lima Tahun UU Desa, Penyederhanaan Pelaksanaan UU Desa Mendesak Dilakukan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo didampingi Presiden RI meninjau Padat Karya Tunai (PKT) pembangunan talud jalan di Desa Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Bangunan talud jalan tersebut berfungsi sebagai penahan longsor, Sabtu (15/9/2018). (Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Selama pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), banyak desa yang telah hadir sebagai subyek yang berdaulat dalam mengurus dan mengatur kepentingannya sendiri. Meski demikian, pelaksanaan UU Desa masih menghadapi berbagai masalah serius.

Di antaranya adalah banyaknya regulasi teknis yang tumpang tindih, tidak selaras, bahkan bertentangan dengan UU Desa, koordinasi kementerian/lembaga yang masih lemah, dan kurang optimalnya peran pembinaan serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada desa.

Baca juga : ABPEDNAS Blitar Minta Ketua DPD RI Kawal Revisi UU Desa

“Dari sekian masalah yang ada tersebut, kami memandang persoalan mendasar yang mendesak untuk segera diselesaikan adalah segera dilakukannya penyederhanaan pelaksanaan UU Desa,” ujar Manager Riset FITRA, Badiul Hadi dalam sebuah diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, langkah strategis dan taktisnya yang perlu dilakukan yaitu mengkonsolidasikan dua Peraturan Pemerintah (PP) yang ada dan semua peraturan teknis turunannnya. Kedua PP tersebut adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah terakhir menjadi PP No. 11 Tahun 2019 (PP No.43 Tahun 2014) dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah terakhir menjadi PP No. 8 Tahun 2016 (PP No. 60 Tahun 2014).

Baca juga : Komite I DPD RI Temukan 8 Permasalahan Pelaksanaan Undang-Undang Desa

Pertanyannya, mengapa kedua PP tersebut mendesak untuk dikonsolidasikan menjadi satu PP?

Pertama, sebagai landasan utama pelaksanaan UU Desa, kedua PP tersebut telah mereduksi desa sekadar menjadi pemerintahan desa. Dalam PP No. 43 Tahun 2014 jelas termuat tentang hirarkhi kekuasaan pemerintahan desa yang berada di bawah camat, bupati/walikota, dan gubernur.

Baca juga : Perbaiki Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, DPD Rumuskan RUU Perubahan UU Desa

Kedua, PP tersebut telah mendistorsi asas utama UU Desa, yaitu asas rekognisi dan subsidiaritas. Dalam Pasal 21 PP No. 60 Tahun 2014 kedua asas utama tersebut didistorsi dengan memerintahkan Menteri Desa untuk menetapkan kebijakan prioritas penggunaan dana desa setiap tahun anggaran.

“Asas rekognisi dan subsidiaritas pada dasarnya mengamanatkan desa memiliki otoritas untuk menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul yang di dalamnya mengandung kearifan lokal. Sedangkan tugas pemerintah supra desa lebih banyak mendukung, memfasilitasi, dan memastikan hal apa yang menjadi otoritas desa bekerja dengan baik melalui peran pembinaan dan pengawasan,” ujarnya melalui siaran pers.

Keberadaan PP No. 60 Tahun 2014 sekarang ini, kata Badiul, membuat otoritas Kemendesa PDTT, K/L lainnya dan Pemda menjadi semakin kuat, sementara desa menjadi semakin lemah.

Alasan ketiga, katanya, masih menempatkan desa sebagai obyek pembangunan. Adanya kedua PP yang sekarang ini, justeru memungkinkan bagi K/L dan Pemda masih mengalokasi anggaran program/kegiatan, bahkan melaksanakan langsung program/kegiatan berskala desa.

“Padahal, mandat UU Desa jelas-jelas dan secara nyata telah memberikan mandat kewenangan pembangunan kepada desa, sehingga desa tidak lagi semata-mata sebagai obyek dan lokus pembangunan, melainkan sebagai arena dan subyek pembangunan,” ujarnya.

Keempat, PP tersebut telah mereduksi hak keuangan desa menjadi keuangan negara. Dalam pasal 72 UU Desa disebutkan, bahwa Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan konsekuensi dari penggunaan asas rekognisi dan subsidiaritas yang dipakai sebagai landasan pengaturan UU Desa. Dalam pasal tersebut disebutkan adanya tujuh sumber pendapatan desa di antaranya adalah anggaran yang bersumber dari APBN (Dana Desa) dan yang bersumber dari APBD (Alokasi Dana Desa).

Jika merujuk pada UU Desa, kesemua sumber pendapatkan tersebut menjadi hak dan kewajiban desa. Sementara itu, PP No. 60 Tahun 2014 justru lebih cenderung mereduksi hak desa tersebut menjadi keuangan negara.

Sekjen FITRA, Misbah Hasan mengatakan, akibat dari permasalahan yang ditemukan pada kedua PP tersebut, pelaksanaan UU Desa di lapangan sejauh ini menghadapi beberapa kendala dan tantangan.

Tantangan pertama, katanya, hak desa untuk menentukan kewenangan yang bisa dijalankan menjadi terbatasi.

Hal ini terjadi karena otoritas untuk menentukan kewenangan yang mampu dijalankan oleh desa ditentukan oleh Kemendagri dan pemerintah daerah kabupaten/kota. “Artinya, tidak banyak tersisa ruang bagi desa untuk melaksanakan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, yang mestinya hal itu diatur dan diurus oleh desa,” ujar Misbah.

Kedua, adanya fragmentasi penatausahaan dan pelaporan keuangan desa. Hal ini mengakibatkan beban administrasi bagi pemerintah desa terlalu besar, karena PP 60 Tahun 2014 menuntut pelaporan Dana Desa tersendiri2 dari desa melalui aplikasi OMSPAN.

Di sisi lain, penatausahaan dan pelaporan yang rumit membuat pemerintah desa lebih sibuk membuat laporan penggunaan keuangan kepada pemerintah supra desa ketimbang membangun akuntabilitas sosial, mengembangkan demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, hak desa untuk menggunakan anggaran yang dimiliki menjadi terbatas. Hal ini terjadi karena prioritas penggunaan dana desa ditetapkan secara top-down tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi masing-masing desa yang sangat bervariasi. Hal ini membuat RPJMDesa akhirnya menjadi dokumen formalitas belaka, tidak responsif kondisi yang ada di desa.

“Akibat lainnya, kebutuhan kelompok masyarakat miskin dan marginal tidak bisa diutamakan karena dikalahkan oleh kepentingan ‘sebagian besar’ masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Pemerhati Desa Sunaji Zamroni menyebutkan permasalahan lainnya yaitu, menipisnya praktik akuntabilitas sosial dalam program/kegiatan desa.

Hal ini, katanya, terjadi karena aspirasi warga masyarakat yang sudah diserap oleh pemerintah desa (akuntabilitas sosial), seringkali dikalahkan oleh “intervensi” kepentingan pemerintah supra desa. “Intervensinya dalam bentuk berbagai program titipan yang pembiayaannya dibebankan pada APBDesa, atau oleh interpretasi yang kurang tepat dari peraturan-peraturan yang ada oleh staf Pemda,” ujarnya.

Selain itu, desa juga tidak bisa mengelola aset secara optimal. Karena ‘kekayaan’ asli desa dapat berupa tanah, hutan, sumber air milik klan/ marga/ulayat yang tidak bersertifikat namun secara tradisional diakui dan diketahui masyarakat.

Tantangan berikutnya adalah kontradiksi mandat pembinaan dan pengawasan ke desa. Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak memberikan peran bagi Pemerintah Daerah Provinsi di dalam urusan pembinaan administrasi Pemerintahan desa. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan pasal 112 dan pasal 114 UU Desa, dimana Pemerintah Daerah Provinsi bertugas membina Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

“Karena itu, sejalan dengan arahan Presiden untuk RPJMN 2020-2024 agar Pencapaian Visi 2045 melalui transformasi ekonomi yang didukung oleh hilirisasi industri dengan memanfaatkan sumber daya manusia, infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi, maka kami mendesak dan menuntut kepada pemerintah untuk segera melakukan penyederhanaan pelaksanaan UU Desa, dimulai dengan penyatuan dua PP tersebut di atas,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait
ABPEDNAS Blitar Minta Ketua DPD RI Kawal Revisi UU Desa
Komite I DPD RI Temukan 8 Permasalahan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Perbaiki Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, DPD Rumuskan RUU Perubahan UU Desa
Artikel Terkini
Tanggapi Tuduhan Ade Pencuri, Lawyer Gaul: gak Cocok sama Faktanya
Terus Bermanuver Menuju Pilkada NTT, Cagub Ardy Mbalembout dan Irjen Jonny Asadoma Gelar Pertemuan Tertutup di Jakarta
Tamini Square Gelar Festival Soto dan Masakan Nusantara
Dituduh Curi Iphone, Ade Laporkan AA ke Polres Jaksel
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas