INDONEWS.ID

  • Senin, 13/04/2020 12:01 WIB
  • Peluang Ekonomi Bangkit di Tengah Pandemi Covid-19 Masih Ada, Ini Syaratnya

  • Oleh :
    • very
Peluang Ekonomi Bangkit di Tengah Pandemi Covid-19 Masih Ada, Ini Syaratnya
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Pandemik virus corona (Covid-19) saat ini memukul perekonomian Indonesia. Namun, peluang untuk bangkit kembali masih tetap ada. Syaratnya, tim ekonomi memiliki terobosan nyata yang mampu menggairahkan kembali perekonomian rakyat.

Baca juga : Ramaikan Musim Mudik, Pertamina Lubricants berbagi THR Fastron kepada Para Pemudik

Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Rizal Ramli, menceritakan kesuksesan tim ekonomi yang dipimpinnya era Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi negatif ke positif waktu itu. Tak tanggung-tanggung, kerja timnya waktu itu mampu mendorongkrak ekonomi dari negatif 3 persen (-3) ke positif 4,9 persen.

Ekonom senior itu mengatakan salah satu kebijakan yang dijalankan Tim Ekonomi Gus Dur yaitu melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta.

Baca juga : BI, LPER dan Bizcom Mengadakan Investor Gathering di Singapura

"Tim ekonomi pemerintahan Gus Dur sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari minus 3 persen ke positif 4,9 persen. Seiring dengan itu, utang-pun berkurang, dan mencapai indeks Gini Ratio terendah (0,31) sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta,” kata Rizal Ramli, seperti dikutip dari Vivanews.com, Minggu, 12 April 2020.

Rizal Ramli yang juga mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu mengatakan sejumlah contoh sukses restrukturisasi korporat, antara lain, restrukturisasi Bulog, PT Dirgantara Indonesia (PT DI), dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), pemisahan manajemen PT Telkom dan PT Indosat, serta penanganan Bank Internasional Indonesia (BII). Selain itu, kebijakan di sektor properti, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Tani.

Baca juga : Pemerintah Perlu Lakukan Kebijakan Peningkatan SDM di Bidang Perbankan dan Ekonomi Syariah

Ini sejumlah terobosan yang dilakukan oleh Rizal Ramli dan Timnya dalam melakukan restruktrisasi korporasi.

  1. Bulog

Bulog semasa pemerintahan Soeharto dikenal sebagai lembaga yang sangat korup. Kemudian, diubah oleh tim ekonomi Gus Dur menjadi lembaga yang transparan, profesional, dan akuntabel.

Langkah pertama adalah melakukan mutasi besar-besaran yang mencakup 5 pejabat eselon satu (Deputi) dan 54 pejabat eselon dua (Kepala Biro dan Kepala Dolog). Dari 26 Kepala Dolog, 24 di antaranya dipensiunkan atau dimutasi. Total sekitar 80 karyawan di bawahnya dipensiunkan secara dini.

Selanjutnya memangkas rekening Bulog dari 117 rekening menjadi hanya 9 rekening. Sistem pembukuan di Bulog yang tidak jelas standarnya diubah menjadi General Accepted Accounting Principles, sehingga dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan. Ketika selesai dibenahi, Bulog surplus Rp 5 triliun (yang akhirnya malah dibelikan pesawat Sukhoi pada era setelah Gus Dur).

Bulog di era pemerintahan Gus Dur, kata Rizal, juga meningkatkan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani. Tujuannnya adalah untuk memotong kecurangan para tengkulak yang sebelumnya selalu membeli gabah petani, mengoplosnya dengan beras impor, baru menjualnya ke Bulog.

Langkah ini efektif karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog ketimbang beras. Cara seperti itu, menurut Rizal, sangat menguntungkan para petani, karena selama musim panen ketika harga gabah turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal. Sedangkan ketika masa paceklik gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras.

Pada periode itu, lanjut Rizal, Bulog juga dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dengan dikenakan sedikit tarif (tanpa sistem kuota). Akibat dari kebijakan ini, selama masa pemerintahan Gus Dur harga beras menjadi sangat rendah dan stabil.

  1. PT Dirgantara Indonesia

Sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1998, perusahaan itu masih merugi Rp75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp 508 miliar. Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah namanya menjadi PT Dirgantara Indonesia seiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif.

PT DI tidak lagi hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia (seperti: Boeing, Airbus, British Aerospace, dll). Akibat dari kebijakan ini pada tahun 2001, PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp1,4 triliun (nyaris 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1998) dan keuntungan sebesar Rp11 miliar.

“Setelah era Gus Dur kondisi PT DI kembali memburuk karena kesalahan strategi pemerintahan setelah Gus Dur, sehingga dampaknya harus memecat 6.600 karyawannya,” kata Rizal.

  1. PT Perusahaan Listrik Negara

Tim ekonomi Gus Dur, kata Rizal, juga sukses menyelamatkan PLN dari kebangkrutan dengan cara renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian (akibat KKN peninggalan Suharto) dari USD cents 7-9/kWh ke harga normalnya sekitar USD cents 3,5/kWh, sehingga beban utang pemerintah dan PLN turun dari USD 80 miliar ke USD 35 miliar.

Selain itu, revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat 4 kali lipat dari Rp52 triliun ke Rp202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus Rp9,1 triliun bertambah menjadi Rp119,4 triliun.

 

  1. Sektor Properti

Lalu, sektor properti adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri (seperti semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, alat kelistrikan, dan sebagainya) dan menyerap sangat banyak tenaga kerja.

Karena itu, demi kembali membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk pasca krisis, pada April 2001 tim ekonomi Gus Dur meluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti.

Kemudahan, ini lebih diutamakan kepada para pengembang Rumah Sangat Sederhana (RSH). Akibat kebijakan ini nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp9,88 triliun (2001) menjadi Rp12,99 triliun (2002) dan Rp26,95 triliun (2003). Akhirnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era pasca Gus Dur.

Pada era Gus Dur, jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha. Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50 persen asalkan dibayar dengan tunai.

Menurutnya, kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp1 triliun pada tahun 2001. Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur.

Bila luas lahan yang dimiliki petani kurang dari 0,5 Ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50 persen. Bila luas lahan 0,5-1 Ha, potongan utang pokok sebesar 35 persen. Bila luas lahan lebih besar dari 1 Ha, potongan utang pokok sebesar 25 persen.

 

  1. PT Telkom dan PT Indosat

Pada era Gus Dur terjadi pemisahan manajemen silang (cross management) dan kepemilikan silang (cross ownership) di tubuh PT Indosat dan PT Telkom. Tim ekonomi Gus Dur ingin agar antara kedua perusahaan ini berkompetisi secara fair meninggalkan kerjasama terselubung yang selama ini dipraktekan keduanya. Kebijakan ini menyebabkan negara mendapatkan Rp5 triliun tanpa menjual selembar saham.

 

  1. Bank Internasional Indonesia (BII)

Awal Juli 2001, terjadi rush di Bank Internasional Indonesia (BII) yang awalnya hanya puluhan miliar rupiah kemudian mencapai Rp 500 miliar. Kondisi ini membahayakan sistem perbankan nasional.

Saat itu IMF mengusulkan dua opsi, yaitu membail-out BII sebesar Rp4,2 triliun; dan melikuidasi BII yang memakan biaya Rp5 triliun. Tim ekonomi Gus Dur tidak menuruti nasihat IMF (karena IMF memiliki rekam jejak menjerumuskan Indonesia pada krisis ekonomi yang parah tahun 1997), namun memilih opsi sendiri.

Tim ekonomi segera menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah melalui Bank Mandiri “seolah-olah” mengakuisisi BII sebesar 80 persen. Keesokan harinya pers release ditempel di seluruh cabang BII.

Mengetahui bahwa pemerintah dan bank terbesar “berencana” mengakuisisi, para nasabah BII pun merasa aman dan mulai kembali menyimpan dananya. Kemudian tim ekonomi mengganti direksi BII dengan bankir-bankir didikan Bank Mandiri.

“Setelah itu kondisi BII pun kembali normal. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah bank diselamatkan dari rush tanpa melakukan bail-out dan likuidasi,” pungkasnya. (Very)

                                            

Artikel Terkait
Ramaikan Musim Mudik, Pertamina Lubricants berbagi THR Fastron kepada Para Pemudik
BI, LPER dan Bizcom Mengadakan Investor Gathering di Singapura
Pemerintah Perlu Lakukan Kebijakan Peningkatan SDM di Bidang Perbankan dan Ekonomi Syariah
Artikel Terkini
Fundamental Ekonomi Indonesia Cukup Kuat Meredam Dampak Potensi Eskalasi Konflik di Kawasan Timur Tengah Pasca Serangan Iran
Arus Balik Lebaran, 7.663 Pemudik Antarnegara Tercatat Melintas di PLBN Entikong
Perkuat Persatuan, Forum Pemuda Sawahan Bantul Gelar Syawalan Idul Fitri 1445 H
Prof Tjandra: Tahun Ini Mungkin Menjadi Tahun Terburuk Dengue di Benua Amerika
IMLF-2 SatuPena Sumbar Gelar Seminar International di Batusangkar yang Menghadirkan Sejumlah Pembicara Luar Negeri
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas