INDONEWS.ID

  • Senin, 27/04/2020 16:30 WIB
  • Serikat Petani Indonesia Meminta DPR Hentikan Pembahasan Seluruh Draf RUU Cipta Kerja

  • Oleh :
    • Mancik
Serikat Petani Indonesia Meminta DPR Hentikan Pembahasan Seluruh Draf RUU Cipta Kerja
Ilustrasi Serikat Petani Indionesia.(Foto:Dokumen SPI)

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Jokowi menerangkan bahwa pemerintah telah menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya klaster tentang keternagakerjaan. Pernyataan presiden dipertegas kembali oleh kembali Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), Puan Maharani.

Puan Maharani menerangkan, pihaknya telah mengirimkan surat penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja ke pada Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI.Diketahui,penundaan pembahasan tersebut hanya khusus untuk draf yang mengatur tentang ketenagakerjaan.

Baca juga : Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat

Menanggapi penundaan pembahasan klaster keternagakerjaan RUU Cipta Kerja, Serikat Petani Indonesia meminta kepada pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan seluruh draf RUU Cipta Kerja tanpa terkecuali.

SPI melihat, RUU tidak hanya merugikan pekerja, namun,memberikan dampak buruk juga masyarakat petani di desa.

Baca juga : May Day 2024, Ratusan Ribu Buruh Suarakan 2 Tuntutan Utama

"SPI menyatakan sikap menolak RUU Cipta Kerja yang mencakup 11 klaster pembahasan dan berimplikasi terhadap 1.244 pasal di dalam 79 UU yang ada di Indonesia, karena bertentangan dengan pelaksanaan reforma agraria, kedaulatan pangan, dan mengancam pembangunan pertanian, perdesaan, dan penegakan hak asasi petani di Indonesia. Bahkan di dalam klaster kemudahan investasi, justru membahas mengenai impor pangan. ini kan berarti semakin mempersulit kehidupan petani kita," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin,(27/04/2020)

RUU yang ada, kata Henry sangat bertentangan dengan semangat yang tertulis dalam visi dan misi Presiden Jokowi. Karena itu, tidak alasan lain kecuali RUU tersebut dihentikan proses pembahasannya oleh pemerintah dan DPR.

Baca juga : Didampingi AHY, Besok Jokowi Serahkan 10.323 Sertipikat Tanah Elektronik di Banyuwangi

"RUU ini juga tidak sejalan dengan Nawa Cita 2014 - 2019 dan Visi Indonesia Maju 2019 - 2024 Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma`ruf Amin, dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tegas Henry.

RUU Cipta Kerja Bertentangan dengan Konsep Reforma Agraria

Henry kembali menegaskan, esensi dari RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan merupakan replikasi dari RUU Pertanahan yang ditunda pengesahannya pada Bulan September lalu.

Karena itu, SPI berpandangan isi dari RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan memiliki masalah yang sama dengan RUU Pertanahan, yakni terdapat butir-butir pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

"SPI dalam hal ini tetap pada berpegang pada pandangan dan sikap organisasi yang dikeluarkan pada September lalu yakni menolak isi dari RUU Pertanahan," jelasnya.

Selain itu, konsep bank tanah di dalam RUU Cipta Kerja bertentangan dengan amanat UUPA 1960. Implikasi dari hal tersebut antara lain adalah Bank Tanah semakin menjadikan tanah semata-mata sebagai komoditas dengan Bank Tanah sebagai instrumen utamanya untuk memperdagangkan tanah.

Hal ini bertentangan dengan amanat dari UUPA 1960 dimana tanah seharusnya dimaknai dalam fungsi sosialnya, bukan hanya ekonomi.

Henry juga menyoroti mengenai Hak Pengelolaan (HPL) dalam pasal 127 ayat (2) RUU Cipta Kerja. Pasal ini berpotensi mengurangi peran negara dalam menguasai tanah.

"SPI berpandangan ketentuan mengenai HPL dalam RUU Cipta Kerja sangat bias kepentingan, yakni memfasilitasi investasi di sektor pertanahan namun abai terhadap potensi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia akibat terbitnya ketentuan tersebut,” sebutnya.

Hal selanjutnya yang disorot adalah mengenai Hak Milik atas Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing (Sarusun). Dalam pasal 137 ayat (1) poin c, d, dan e, disebutkan bahwa warga negara asing, badan hukum asing, dan perwakilan negara asing dan lembaga internasional, dapat diberikan Hak Milik Sarusun.

Hal ini bertentangan dengan ketentuan di dalam UUPA 1960 yang menyatakan orang asing yang berkedudukan di Indonesia hanya diperbolehkan memiliki hak pakai dan hak sewa.

Poin selanjutnya yang disampaikan Henry adalah keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap investasi dan kepentingan korporasi dapat dibaca dari pemberian hak atas tanah, baik itu Hak Pengelolaan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, sampai dengan Hak Pakai dengan jangka waktu yang panjang yakni 90 tahun.

"Padahal apabila mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Penanaman Modal, pemberian jangka waktu 90 tahun dalam hak atas tanah merupakan inkonstitusional, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960,” tegasnya.

Henry mempertanyakan poin dihilangkannya tanggung jawab korporasi perkebunan terhadap masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan.

RUU Cipta Kerja berimplikasi terhadap dihapuskannya pasal 58 ayat (1) Undang-Undang (UU) Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang sebelumnya memuat ketentuan kewajiban perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan.

"Ini malah akan semakin melanggengkan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, yang sampai saat ini masih dikuasai korporasi, khususnya korporasi perkebunan,” katanya.

Selanjutnya RUU ini juga berimplikasi pada dihapuskannya pasal pada UU Perkebunan No.39/2014 yang mewajibkan dicantumkannya informasi dari perusahaan perkebunan.

Padahal perusahaan perkebunan diketahui merupakan salah satu aktor penyebab terjadinya konflik agraria di Indonesia, dan masalah keterbukaan informasi perusahaan terkait penerbitan izin baik itu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, menjadi klaim untuk merampas tanah milik masyarakat.

"SPI berpandangan dengan dihapuskannya pasal tersebut justru akan menyulitkan transparansi dan evaluasi terhadap perusahaan perkebunan apabila dicurigai melanggar hak-hak masyarakat," terang Henry.

Poin terakhir adalah mengenai penghapusan ketentuan tanah terlantar. Salah satu poin krusial dari RUU Cipta Kerja adalah diubahnya pasal 16 dalam UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, dimana penghapusan sanksi bagi perusahaan yang tidak mengusahakan tanah dalam waktu yang sudah ditentukan oleh negara atau penghapusan ketentuan kategori tanah terlantar.

"Dihapuskannya pasal tersebut menjadi langkah mundur bagi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, mengingat tanah terlantar masuk sebagai sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Hal tersebut diketahui juga bertentangan dengan aturan UUPA 1960 yang menyebutkan hapusnya hak atas tanah bagi perusahaan apabila ditelantarkan dan tidak diusahakannya tanah tersebut. Hal ini dampaknya PP tanah terlantar sulit untuk dilaksanakan dan juga berimbas pada perpres reforma agraria khususnya objek reforma dari tanah terlantar," pungkasnya.*

 

 

Artikel Terkait
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
May Day 2024, Ratusan Ribu Buruh Suarakan 2 Tuntutan Utama
Didampingi AHY, Besok Jokowi Serahkan 10.323 Sertipikat Tanah Elektronik di Banyuwangi
Artikel Terkini
Jelang Musim Haji, MERS CoV di Arab Saudi Perlu Diwaspadai
PJ Bupati Maybrat Pantau Ujian Nasional 3 SD Terdalam di Aifat Utara
PNM Sosialisasikan Program Mekaar Pada Tokoh Masyarakat dan Pemuka Agama Serang
Pj Bupati Maybrat Hadiri Rapat Persiapan Penilaian Akreditasi Delapan Puskesmas
Peringatan Hari Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura ke-207
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas