INDONEWS.ID

  • Rabu, 04/08/2021 13:26 WIB
  • Menghilangkan Akun, Video dan Postingan Kritik Masalah Rasisme Adalah Kejahatan Memupuk Rasisme

  • Oleh :
    • Mancik
Menghilangkan Akun, Video dan Postingan Kritik Masalah Rasisme Adalah Kejahatan Memupuk Rasisme
Aktivis kemanusiaan asal Papua, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Rasisme mestinya jadi musuh bersama semua umat manusia di dunia, khususnya yang masih merasa di bawah kolong langit yang sama, dan yang masih merasa bahwa semua manusia sama, apalagi di Indonenesia semangat itu dinyatakan melalui tujuan negara, negara demokrasi dan negara pancasila.

Baca juga : Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat

Sayangnya kejahatan rasisme terhadap orang Papua tumbuh subur sejak pertama Papua dipaksakan gabung dengan Indonesia di bawah tekanan dan intimidasi aparat negara. Kejahatan rasisme tersebut tidak pernah usai, bahkan sudah tertanam di bawah alam sadar, yang kapan saja bisa dikeluarkan dan meledak, serta memicu kebencian dan konflik.

Kembali lagi, kalau bicara Pancasila, Indonesia punya semangat pada sila pertama dan sila kedua yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Belum lagi semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA. Tetapi faktanya, pengecualian bagi Papua. Baik perjalanan sejarah sampai rentetan kejahatan terhadap rasisme menunjukan fakta-fakta tersebut.

Baca juga : Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)

Kalau anak-anak kecil di Papua menyebutnya "latihan lain, main lain". Pengertian lainnya adalah tulis lain, praktek lain. Kejahatan rasisme tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas tapi pada prakteknya tetap dilakukan berulang-ulang.

Filip Karma (x-Tapol Papua) pernah menulis buku dengan judul "seakan kitong setengah manusia". Barang kali lebih ekstrimnya orang asli Papua masih belum dianggap sama seperti manusia. Tidak pernah ada cara damai dan bermartabat dilakukan di Papua.

Baca juga : Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator

Kalau baca twitter Natalius Pigai, tokoh nasional asal Papua saat merespon penembakan warga sipil Papua, "Pembunuhan ke rakyat Papua sudah memasuki tahap Genosida". Genosida sendiri adalah kejahatan terhadap rasisme yang dilakukan untuk memunahkan ras dan bangsa tertentu atau kelompok tertentu, itu juga yang dialami bangsa Papua selama di Indonesia.

Tidak pernah sunyi dengan nyawa rakyat Papua yang hilang di ujung moncong senjata, belum lagi kekerasan fisik dan verbal berbau rasisme, ditambah lagi hutan dan kekayaan yang lenyap, sumber kehidupan yang lenyap, bahkan tanah adat pun hilang dan rakyat mulai makin marjinal. Bagian ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah membantu merumuskan 4 masalah besar di Papua yang satu masalahnya pun tidak selesai walau di era digitalisasi dan modern.


Menghilangkan Akun, Vidio dan Tulisan Kritis

Setelah kasus rasisme di Merauke, tentu publik tahu dan dikagetkan dengan video yang beredar dimana tindakan aparat negara yang sangat rasis terhadap orang hitam asal Papua. Video tersebut juga berusaha dishare olah wartawan senior asal Papua, Victor Mambor, melalui akun twitternya. Tidak lama kemudian, akunya dihilangkan.

Hal yang sama juga terhadap seorang aktivis kemanusiaan, Alex, dimana Alex berusaha membuat video dan share ke Youtube dengan mengutuk tindakan kejahatan rasisme terhadap orang Papua. Tidak lama kemudian Youtubenya tidak bisa dibuka.

Jika kita lihat secara cermat, dan didasari dengan semangat perlawanan terhadap kejahatan rasialisme, mestinya setiap kejahatan rasisme harus dipublikasi dan diketahui publik dan menjadi perlawanan publik, apalagi jika kejahatan rasisme tersebut dilakukan oleh aparat negara atau negara. Hanya dengan itu, maka, setiap kejahatan rasisme akan diminimalisir. Itu prinsipnya.

Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Setiap kejahatan rasisme yang dishare baik vidio dan tulisan, pasti dibuat hilang atau tidak bisa dibuka. Alasannya agar tidak menimbulkan mobilisasi publik. Pada hal, itu hanya upaya menutupi dan menyembunyikan kejahatan rasisme.

Alibinya agar tidak ada perlawanan publik. Ini sama dengan menutupi luka membusuk yang kebusukan itu pasti kecium juga. Hanya orang Dungu dan anti kemanusiaan saja yang akan selalu menutupi kejahatan dengan kekuatan kekuasaan dan beralibi tanpa logika.

Alasan lain yang kerap kali dipakai adalah provokator. Pada hal, pengertian provokator jelas dan batasannya juga jelas adalah meniadikan yang tidak ada, dan membesar-besarkan yang kecil dan tidak ada atau memprovokasi serta melakukan adudomba.

Sementara kejahatan rasisme itu adalah musuh seluruh umat manusia di dunia, dan itu bukan provokasi tapi lebih pada perlawanan terhadap penjahat rasisme, apalagi hukum pidana sudah membatasinya jelas, baik pada subjek hukum dan pada perbuatan pidana.

Sehingga, jika upaya menutupi kejahatan rasisme datang dari negara atau perangkat negara, maka, dapat diduga tindakan tersbut juga bagian dari tindakan kejahatan terhadap rasisme. Mestinya negara bersama warga negara bergandengan tangan melawan kejahatan rasisme.

Solusi Lawan Rasisme

Dengan masuk sampai menghapus akun dan postingan serta lainnya, ini memberikan gambaran bahwa, kejahatan rasisme di Indonesia itu sudah parah, dan selalu dipraktekan berulang-ulang dari berbagai lapisan. Mestinya untuk melawan kejahatan rasisme yang tingkat parah seperti itu, harus dipikirkan juga cara yang lebih kongkrit, besar dan terukur.

Karenanya, menurut saya, solusi melawan rasialisme adalah:
(1)Buka ruang demokrasi besar-besaran dengan kebebasan memposting informasi, membuka akses internet seluas-luasanya tanpa batasan, tanpa hapus-hapus akun dan tanpa pemblokiran dan lain-lain. Karena jika perbuatan pidana, batasannya sudah jelas;
(2)Buka ruang demokrasi sebesar-besarnya untuk penyelesaian masalah di Papua dengan cara Perundingan Jakarta-Papua, dan presiden harus segera menunjuk Spacial Envoy dan mengutus wakil presiden sebagai penanggungjawab politik untuk berundingan;
(3)Rubah negara kesatuan menjadi negara federal agar martabat suku bangsa yang berbeda-beda bisa terpelihara dan terjaga dan kebhinekaan bisa terjaga dan terlindungi. Karena kesatuan itu indentik dengan tirani, monopoli suku mayoritas dan rasisme. Kesatuan sudah terlihat gagal di Indonesia.

*)Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua.

Artikel Terkait
Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat
Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)
Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator
Artikel Terkini
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Pj Bupati Maybrat Temui Tiga Jenderal Bintang 3 di Kemenhan, Bahas Ketahanan Pangan dan Keamanan Kabupaten Maybrat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas