INDONEWS.ID

  • Minggu, 06/03/2022 14:21 WIB
  • Saatnya Indonesia Beralih ke Hidrogen sebagai Sumber Energi Multi Fungsi

  • Oleh :
    • indonews
Saatnya Indonesia Beralih ke Hidrogen sebagai Sumber Energi Multi Fungsi
Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Tenaga Listrik pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

INDONEWS.ID- Indonesia adalah negara super power dalam perubahan iklim

Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"

Wakil Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo telah hadir pada Conference of Parties (COPke-26 di Glasgow yang diselenggarakan dari 31 Oktober hingga 12 Nopember 2021 yang lalu.   Lalu apakah yang dimaksud dengan United United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan apa hubungannya dengan COP? The UNFCCC adalah sebuah perjanjian yang saat ini beranggotakan 197 negara, yang bekerja untuk membatasi gangguani manusia yang mengakibatkan perubahan iklim.   Indonesia mendukung target mengurangi jumlah pembangkit listrik berbahan bakar batubara dalam mencapai tujuan Net Zero Emission 2050; meskipun tidak menyetujui klausul penghentian pembangunan PLTU baru.  Indonesia akan mengakhiri PLTU Batubara pada tahun 2040-an jika memperoleh bantuan dana dari luar. Tanpa bantuan dana, Indonesia baru dapat mengakhiri penggunaan PLTU Batubara pada tahun 2054.  “Indonesia adalah negara super power dalam perubahan iklim” disampaikan oleh Alok SharmaPresident Designate untuk the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26), ketika mengadakan pertemuan virtual dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Selasa 23/3/21.

 

Baca juga : Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap

Indonesia perlu segera  mengakhiri ketergantungannya pada BBM dan BBG impor

Keberhasilan program pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah telah membuat aktivitas masyarakat berangsur pulih menuju kembali pada kondisi normal. Hal ini juga berdampak pada peningkatan kebutuhan BBM, termasuk solar yang mulai menunjukkan tren meningkat sejak September 2021.  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas sepanjang 2021 mencapai US$196,20 miliar, atau setara Rp2.805 triliun (kurs Rp14.300 per dolar AS). Capaian ini meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020 dengan nilai impor US$141,57 miliar atau setara Rp2.024 triliun. Minyak yang diimpor adalah berupa minyak mentah dan akan diolah di dalam negeri oleh kilang-kilang Pertamina. Namun, sejak dimulaiya serangan Rusia ke negara Ukraina tanggal 24 Februari 2022, serangan tersebut sempat membuat harga minyak menembus US$105,79 per barrel.  Lonjakan tersebut ternyata berpengaruh pada komoditas lainnya, antara lain besi, bajagandumkedelai dan barang2 lainnya.

Baca juga : Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik

Hingga saat ini Indonesia masih mengimpor mintak mentah dan gas dari Saudi Arabia.  Dewan Energi Nasional (DEN) mencatat, bahwa Indonesia baru bisa bebas impor BBM pada tahun 2030. Ternyata strategi pemerintah untuk menyetop impor tahun 2017 sulit terlaksana.  Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Sekjen Dewan Energi Nasional (DENDjoko Siswanto kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Senin (3/1/2022).  "Karena pandemi sejak 2021 lalu, kemungkinan pembangunan kilang kita agak terlambat dan kemungkinan paling cepat 2027 kita tidak impor bensin lagi, atau mungkin mundur sampai 2030. Itu yang di dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) kita," jelas Djoko (CNBC Indonesia).

 

Mengapa hidrogen dipilih sebagai pengganti BBM dan BBG fosil?

Mengapa hidrogen lebih diutamakan dari pada BBM dan BBG nabati?  Diversifikasi sumber energi adalah baik dan merupakan strategi yang tepat.  Namun Indonesia dengan penduduknya yang sekitar 273 jita jiwa tidak mungkin dilayani dengan hanya mengandalkan BBM dan BBG fosil yang sebagian besar harus diimpor.  Hidrogen industri digunakan untuk: produksi pupukpemurnian petrokimiapengerjaan logampemrosesan makananpendinginan padapusat-pusat pembangkit listrik, manufaktur semikonduktor.   Sementara itu, dengan semakin besarnya perhatian yang diberikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT) mulai dengan cepat memperoleh potensi sebagai sumber bersih untuk menghasilkan hidrogen (hidrogen terbarukan) sebagai pembawa energi bebas emisi karbon.

Ketergantungan terhadap fosil harus segera dilepas dan digantikan oleh sumber-sumber energi non fosil yang ramah lingkungan.  Meskipun BBM dan BBG nabati mulai dikembangkan, kita tidak dapat mengandalkannya sebagai satu-satunya pengganti bahan bakar fosil, karena akan memerlukan lahan yang sangat luas untuk membuka perkebunan kelapa sawit dan perkebunan tebu, misalnya.  Dengan kata lain, akan terjadi konflik “tarik-menarik kepentingan” dalam memanfaatkan lahan antara kebutuhan rumah tinggal akibat meningkatnya jumlah penduduk.  Satu-satunya yang tidak akan terusik adalah wilayah Indonesia yang berupa air, yaitu laut dan selat yang luasnya 62% dari luas total wilayah Indonesia.

 

Saatnya kita beralih ke produksi hidrogen sendiri

Aktifitas manusia sebagai penyebab emisi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon diosida, adalah karena penggunaan bahan bakar fosil untuk memproduksi energi dan transportasi, yang diakui secara luas sebagai penyebab utama perubahan iklim.  Untuk menurunkan emisi oleh transportasi, penukaran ke bahan bakar bersih seperti listrik atau hidrogen dari sumber energi terbarukan menjadi keperluan yang mendesak. Ekonomi hidrogen telah didiskusikan secara meluas sebagai energi masa depan dan suplai bahan bakar transportasi.  Saat ini, produksi hidrogen saat ini digunakan untuk memproduksi ammonia dan proses kilang minyak.

Jika hidrogen hendak digunakan sebagai penggerak utama penyimpan energi masa depan maupun bahan bakar transportasi, sebagai konsekuensinya adalah bahwa skala produksi hidrogen harus ditingkatkan secara luar biasa.  Mayoritas produksi hidrogen selama ini didasarkan pada sumber-sumber fosil sperti gas alam, minyak bumi dan batubara, yang tentunya tidak dapat dianggap sebagai pembawa energi yang bersih maupun bahan bakar transportasi penyebab emisi GRK selama produksi.  Ada banyak pendekatan untuk memproduksi hidrogen, dan elektrolisa air adalah yang paling mendasar.  Produksi hidrogen dari dari elektrolisa air hanya memerlukan air dan listrik sebagai masukannya. Proses ini bebas emisi sepanjang hanya energi terbarukan yang digunakan.  Berkaitan denga melonjaknya harga minyak dunia, keterbatasan sumber minyak dan perubahan iklim, elektrolisa air merupakan teknologi yang sangat tepat dan menjanjikan untuk memproduksi hidrogen bagi masa depan.

 

Potensi laut Indonesia kaya akan bahan baku dan sumber listrik dalam proses elektrolisa

Indonesia adalah negara dengan 17.499 pulau besar dan kecil.  Berdasarkan informasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG), luas wilayah daratan Indonesia ialah 1.922.570 km2 dan perairan 3.257.483 km2. Bila ditotal, luas Indonesia wilayah Indonesia adalah 5.180.053 km2. Sementara, berdasarkan situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi disebutkan, Rujukan Nasional Data Kewilayahan RI menyebutkan luas wilayah Indonesia, baik itu darat dan perairan mencapai 8.300.000 km2.   Panjang garis pantai di seluruh wilayah Indonesia menurut data yang dikeluarkan oleh The World Factbook (TWF), dari buku yang diterbitkan oleh Central Intelligence Agency (CIA) adalah 54.716 km. Indonesia menempati urutan kedua negara dengan panjang garis pantai terpanjang setelah Kanada, diantara 198 negara dan 55 wilayah dunia (The World Factbook, 2016).

Sumber energi terbarukan dari laut  adalah  arus lauttinggi gelombang, dan  kedalaman laut.  Ketiga potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik untuk mendukung proses produksi hidrogen secara elektrolisa air.  Melalui konversi tersebut, sumber listrik menjadi dekat letaknya dengan pusat proses produksi hidrogen secara elektrolisa air, tanpa membebani sistem jaringan listrik PLN yang sudah terpasang sebelumnya.  Pada umumnya, daerah pesisir memiliki potensi angin dengan kecepatan yang lebih besar dibandingkan di pedalaman pulau, sehingga potensial untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Dari uraian tentang potensinya di Indonesia, proses pembangunan hidrogen industri sebagai bahan bakar pengganti BBM dan BBG fosil merupakan keniscayaan.  Untuk itu perlu segera dibangun, baik di pulau-pulau besar maupun menengah, dan sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja lokal.  Kiranya pemikiran ini dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, yang fokus pada pembangunan infrastruktur (termasuk sumber energi terbarukan), modernisasi serta penciptaan lapangan kerja yang tersebar merata di seluruh pulau berpenduduk di Indonesia. Semoga.

 

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Tenaga Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait
Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"
Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap
Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik
Artikel Terkini
Perkembangan Terbaru dan "Historic Milestoe" Aturan Kesehatan Internasional
Semangat Kebangkitan Nasional: Perjalanan Inspiratif Mila dari Serang, Banten
HUT Minahasa Tenggara ke 17, Pj Bupati Maybrat Saksikan Festival Benlak 2024 dan Makan Malam Bersama di Ranumboloy Water Park
PJ Bupati Maybrat Hadiri Pentas Seni Festival Benlak 2024 HUT Minahasa Tenggara ke 17
Saksikan Pekan Gawai Dayak Kalbar, Ratusan Warga Malaysia Serbu PLBN Aruk
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas