INDONEWS.ID

  • Jum'at, 10/06/2022 13:17 WIB
  • ICJR Minta Kepolisian Tidak Memproses Laporan Kedua Laki-laki yang Berpangkuan

  • Oleh :
    • very
ICJR Minta Kepolisian Tidak Memproses Laporan Kedua Laki-laki yang Berpangkuan
Pasangan pria duduk berpangkuan di sebuah kafe di Jakarta. (Foto: mitrapost.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Publik kembali dibuat geger oleh berita pelaporan kejadian terekamannya dua laki-laki sedang berpangkuan di satu restoran di DKI Jakarta kepada pihak kepolisian. Kedua laki-laki tersebut dilaporkan dengan menggunakan Pasal 281 KUHP tentang kesusilaan di muka umum.

Atas pemberitaan ini, ICJR mengingatkan kepolisian untuk berhati-hati merespon laporan ini dan tidak serta-merta memproses laporan ini tanpa dasar hukum pidana, yang dapat menimbulkan iklim ketakutan dan stigma.

Baca juga : KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia

“ICJR mempertanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh pasangan laki-laki ini yang termasuk ke dalam definisi ‘melanggar kesusilaan’ di dalam KUHP, sebab berpangkuan tidak memenuhi unsur kesusilaan di dalam pasal yang dimaksudkan tersebut,” ujar Peneliti ICJR, Genoveva Alicia melalui siaran pers, Jumat (10/6).

Genoveva mengatakan, definisi kesusilaan menurut R. Soesilo di dalam penjelasan Pasal 281 dimaknai sebagai “perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada seorang perempuan, meraba tempat temaluan wanita, memperlihatkan alat kelamain wanita atau pria, mencium dsb.” Perbuatan tersebut termasuk berkaitan dengan nafsu birahi dan alat kelamin.

Baca juga : Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel

Berdasarkan pemberitaan, perbuatan yang ada di dalam video tersebut, tentu tidak termasuk ke dalam kategori kesusilaan sebagaimana penjelasan Pasal 281 KUHP ini.

Sebagai catatan, apa yang dilakukan oleh pria tersebut sering dilakukan oleh masyarakat sekalipun di ruang publik. Jika berpangkuan kemudian diklasifikasikan sebagai pelanggaran kesusilaan, maka yang akan terjadi adalah overkriminalisasi atau besarnya ruang kewenangan aparat penegak hukum untuk menggunakan instrument pidana pada perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak perlu diproses pidana, termasuk juga berpontensi menjerat pasangan legal karena menunjukkan perbuatan-perbuatan yang tanpa batas jelas, dianggap sebagai perbuatan kesusilaan.

Baca juga : Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat

Karena itu, ICJR juga khawatir bahwa pelaporan kasus ini didasarkan pada kebencian dan stigma pada orientasi seksual tertentu, yang menyebabkan hukum diterapkan secara diskriminatif. Pasal-pasal yang tidak ditujukan untuk suatu perbuatan tertentu “dipaksakan” hanya untuk memenuhi rasa kebencian tersebut. “Penerapan pidana di dalam kasus ini merupakan suatu kesewenang-wenangan, untuk semata-mata mendiskriminasi kelompok minoritas seksual tertentu,” ujarnya.

Genoveva mengatakan, apabila peristiwa ini dirasa tidak sesuai dengan “norma”, maka pidana tidak seharusnya digunakan sebagai jalan penyelesaian. Pasal pidana yang dimaksud hanya tetap akan digunakan dalam kondisi tertentu yang sangat ketat, bukan “memaksakan” penggunaannya untuk kepentingan kebencian. Pun juga, pidana harus merupakan upaya terakhir, banyak norma lain yang berlaku di masyarakat yang bisa terapkan.

Mahkamah Konstitusi di dalam putusan No. 46/PUU-XIV/2016 juga telah menegaskan bahwa penggunaan hukum pidana untuk menghukum dan menjatuhkan pidana kepada pelaku yang dianggap sebagai “perbuatan atau perilaku yang menyimpang” yang menjadi fenomena sosial, serta dalam jangka panjang mengatur perilaku tersebut, merupakan langkah yang justru menciptakan ketertiban semu.

MK berpendapat bahwa tertib sosial tidak semata-mata dapat diciptakan dari paksaan kaidah hukum. Lebih lanjut, MK juga menyampaikan bahwa akar dari fenomena sosial yang diharapkan dapat terselesaikan  bukan semata-mata berupa kaidah hukum, apalagi hukum pidana.

ICJR mengingatkan sekali lagi aparat penegak hukum untuk tidak menggunakan momentum-momentum seperti ini untuk melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada kelompok minoritas seksual tertentu.

Proses pidana pada perbuatan yang dilaporkan ini juga akan berpotensi membuka ruang begitu besar kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan kewenangannya dalam memproses pidana dengan sewenang-wenang atau berlebihan.

“Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR mendorong kepolisian untuk tidak memproses kasus ini dan tidak merespon upaya-upaya untuk menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual tertentu dengan penggunaan hukum pidana yang diskriminatif,” ujarnya.

“Publik harus hati-hati karena laporan yang demikian berpotensi membuka ruang begitu besar kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan kewenangannya dalam memproses pidana dengan sewenang-wenang atau berlebihan,” pungkasny. ***

Artikel Terkait
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Artikel Terkini
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Akses Jalan Darat Terbuka, Pemerintah Kerahkan Distribusi Logistik ke Desa Kadundung
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Penutupan Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Bagian dari Strategi Bisnis untuk Fokus pada Lini Penjualan
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas