INDONEWS.ID

  • Kamis, 04/08/2022 20:38 WIB
  • Masukan Kebijakan untuk Presiden Jokowi

  • Oleh :
    • indonews
Masukan Kebijakan untuk Presiden Jokowi
Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dan ekonom senioar INDEF. (Foto:Ist)

Oleh: Prof Didik J. Rachbini*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Selama lima tahun terakhir Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengundang Presiden Joko Widodo setidaknya 3 kali dalam acara seminar  klub 100 ekonom. Presiden Jokowi hadir 2 kali secara offline, karena belum ada kasus covid-19 di Fairmont Hotel dan di Syahid Hotel dan 1 kali online karena ada covid-19.  Meskipun INDEF selalu memberi masukan kritis terhadap pemerintah tetapi Presiden selalu memberikan apresiasi terhadap undangan INDEF.

Baca juga : Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel

Bahkan senda gurau dengan INDEF juga terjadi di forum tersebut. Hal itu misalnya terjadi ketika Direktur INDEF Esther Sri Astuti mengangkat tangan untuk bertanya. Presiden kemudian mempersilahkannya dengan alasan ”Kalau tidak diberi saya bisa ditembak terus oleh INDEF.” 

Presiden tiba-tiba mengundang para ekonom pada Rabu, 3 Agustus 2022. Agak mendadak memang. Pada Selasa malam saya mendapat undangan tetapi posisi berada di Kulon Progo. Saya memesan tiket untuk pagi hari, keesoknya. Dan langsung di-test PCR, selesai 3 jam di Lab Menteng (langganan Sekneg) sebagai syarat bertemu Presiden. Sampai waktu pertemuan jam 12.00 Wib hasil test belum selesai. Saya sudah menunggu di Sekneg kemudian memutuskan pulang. Hasil test baru selesai pukul 12.30 wib.

Baca juga : Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri

Meskipun saya tidak ikut dalam pertemuan tersebut, tetapi masukan untuk Presden bisa diberikan di mana saja, baik tidak mendengarkan atau mendengarkan. Tentu baik jika Presiden tidak hanya mendengarkan bawahannya saja tetapi juga menyimak pemikiran para ekonom dari mana pun yang logis dan masuk akal untuk kebijakan ekonomi.

Dan, inilah masukan saya untuk Presiden Jokowi.

Baca juga : Gaza Genosida Must be Stopped

Pertama adalah APBN harus diselamatkan. Jika tidak pemerintah sekarang akan mewariskan kondisi APBN yang rentan dan rapuh, bahkan saat ini pun menjadi jalan menuju krisis anggaran atau bahkan resesi seperti telah dirasakan negara-negara lain.

Tekanan pada APBN datang dari setidakhya dua hal, yakni subsidi yang sangat besar, terutama subsidi energi, karena kenaikan harga-harga dan tekanan pembayaran utang.  Presiden Jokowi terkenal berani mengambil kebijakan ekonomi dan keputusan rasional yang obyektif dan rasional untuk solusi bangsa meskipun sering kontroversial bagi publik. Di awal pemerintahannya, Presiden tegas mengambil keputusan mengurangi subsidi cukup besar tetapi memberikan subsidi langsung untuk rakyat miskin.

Tetapi Presiden Jokowi pada saat ini seperti gagap untuk mengambil keputusan mengurangi subsidi besar 500 trilyun rupiah pada saat ini. Jumlah subsidi ini sama besarnya dengan anggaran pemerintah SBY dengan kurs rupiah relatif tidak berbeda jauh.  Tim ekonomi presiden tidak juga memberikan masukan yang benar terhadap masalah ini sehingga APBN pasca pemerintahan sekarang akan rusak berat.

Pada tahun depan 2023 pemerintah dan DPR harus mengembalikan defisit di bawah 3 persen sesuai undang-undang yang dibuatnya. Jika rencana tahun depan masuk ke target masuk ke dalam desifit di bawah 3 persen gagal, maka ini menjadi pelanggaran konstitusi yang serius bagi pemerintah. Atau bisa jadi sesuai karakter DPR yang sekarang akan main-main dengan konstitusi, mengubah lagi target defisit tersebut di atas 3 persen lagi. 

Kemungkinan yang kedua ini bisa terjadi karena karakter kolektif kebiasaan DPR dan pemerintah mempermainkan APBN dan konstitusi.  Pelanggaran serius seperti defisit besar yang membahayakan ekonomi negara bisa saja dibuat main-main karena ketiadaan pemikiran kritis dan minus check and balances yang memadai dari sistem demokrasi kita. 

Kedua, adalah lanjutan saran saya di dalam seminar INDEF Klub 100 ekonom bersama Presiden. “Jika presiden dikenal sebagai kepala negara yang sangat dikenal dan rajin blusukan ke pasar, gorong-gorong, dan sebagainya, maka yang harus dilakukan kelanjutannya adalah blusukan ke sektor-sektor industri kecil dan besar. Di sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi ini sekarang rendah dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar dan di bawah 5 persen”,   demikian pidato pengantar saya dengan suara keras sebelum presiden memberi pengarahan di dalam Forum Klub 100 ekonom tersebut.

Saya menganggap masukan ini penting dan tetap relevan untuk presiden, meskipun saya tidak hadir dalam forum presiden kemarin.  Sektor industri adalah tulang punggung pertumbuhan tinggi pada dekade 1980-an dan 1990-an.  Pertumbuhan ekonomi sekitar 7-8 persen pada dekade tersebut, tingkat pertumbuhan sektor industri dua digit sampai 12 persen.  Pada saat yang sama tingkat pertumbuhan ekspor mencapai 20-24 persen. Berbeda dengan durian runtuh ekspor naik satu tahun terakhir ini, yang akan lenyap kembali tahun berikutnya.

Berkali-kali presiden mengungkap perlunya hilirisasi adalah cikal bakal untuk penguatan sektor industri. Sekarang, peranan sektor industri di dalam ekonomi terus mengalami penurunan.  Hilirisasi dan banyak sumberdaya alam (nikel, batu bara, mineral lain, gas alam, sawit, dan banyak lagi lainnya) merupakan jalan untuk memperkuat kembali sektor industri kita.

Ketiga, untuk kebijakan ke depan, saya mengusulkan agar menjalankan strategi kebijakan ekonomi “outward loking” - strategi berorientasi keluar dengan pilar kebijakan ekspor dan investasi yang berkualitas (bukan investasi yang mengeruk pasar dalam negeri). Strategi ini dalam sejarah ekonomi modern sudah dilakukan semua negara maju, yang sukses melewati jebakan pendapatan menengah (middle income trap), seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Cina dan akan menyusul Vietnam, yang sudah menyalip Indonesia. Kebijakan ini pernah dijalankan Indonesia pada tahun 1980-an, yang merupakan best practice dari kebijakan ekonomi Indonesia yang pernah ada.

Jika tidak, kita akan stagnan sebagai negara berpendapatan menengah bawah (kisaran 4000 US dollar per kapita) dan sering tergelincir menjadi negara berpendapaan menengah bawah. Sudah 7 tahun lamanya kita tersendat di tingkat pendapatan 4 ribu US dollar per kapita tersebut.

Saya mendengar dalam pertemuan tersebut, Presiden berkenan menerima undangan INDEF untuk seminar atau pertemuan Klub 100 Ekonom pada September mendatang. Mudah-mudahan semua pertanyaan dan masukan ekonom seperti saya uraikan ini berkenan untuk didengar selain dari bawahannya.

*) Didik J Rachbini, ekonom INDEF

Artikel Terkait
Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel
Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri
Gaza Genosida Must be Stopped
Artikel Terkini
Cegah Perang yang Lebih Besar, Hikmahanto Sarankan Menlu Retno untuk Telepon Menlu Iran Agar Tidak Serang Balik Israel
Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional
Pj Bupati Maybrat Sidak Kantor Distrik Ayamaru Jaya, Ini yng Dijumpai
Bahas Inklusivitas Keuangan hingga Stabilitas Geopolitik, Menko Airlangga Berbincang Hangat dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
PTPN IV Regional 4, Bangun Tempat Wudhu Masjid Tuo
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas