INDONEWS.ID

  • Kamis, 02/02/2023 08:07 WIB
  • Dunia Penerbangan Indonesia memerlukan badan Arbiterase dan Mediasi bertaraf Internasional

  • Oleh :
    • luska
Dunia Penerbangan Indonesia memerlukan badan Arbiterase dan Mediasi bertaraf Internasional

Penulis: Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

Hakim AS di Texas memutuskan bahwa penumpang yang tewas dalam dua kecelakaan Boeing 737 MAX,  Lion Air JT 610 dan sebuah maskapai Ethiopia pada 2018 dan 2019 secara hukum dianggap sebagai "korban kejahatan", Jumat, 21 Oktober 2022. Keputusan ini akan menentukan solusi apa yang harus diberikan.  

Baca juga : Rawannya Wilayah Perbatasan Negara

Pada Desember 2021, beberapa kerabat korban kecelakaan mengatakan Departemen Kehakiman AS melanggar hak hukum mereka karena pada Januari 2021 menangguhkan tuntutan mereka pada Boeing atas dua kecelakaan yang menewaskan 346 orang.

Keluarga korban berpendapat pemerintah "berbohong dan melanggar hak-hak mereka melalui proses rahasia" dan meminta Hakim Distrik AS Reed O'Connor untuk mencabut kekebalan Boeing dari tuntutan pidana - yang merupakan bagian dari perjanjian $ 2,5 miliar - dan memerintahkan pembuat pesawat itu secara terbuka didakwa atas kejahatan.

Baca juga : Sopan Santun dan Bajingan Tolol

O'Connor memutuskan, jika Boeing tidak menipu (Administrasi Penerbangan Federal), maka 346 orang tidak akan kehilangan nyawa mereka dalam kecelakaan itu.   Paul Cassell, pengacara untuk keluarga korban, mengatakan keputusan itu "adalah kemenangan yang luar biasa" dan "menyiapkan panggung untuk sidang penting, di mana kami akan mengajukan usulan pemulihan yang akan memungkinkan penuntutan pidana untuk meminta pertanggungjawaban penuh Boeing."  Boeing belum memberikan tanggapan atas keputusan itu.   (Berita tersebut diatas adalah kutipan dari berita Tempo.co 22 Oktober 2022)

Berita terkait klainnya :
Keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 menjelaskan terkait dana kompensasi dari Boeing. Keluarga korban menyebut ada 5 yayasan menjadi penyalur dana sosial itu, termasuk Aksi Cepat Tanggap (ACT). Keterlibatan ACT soal dana ahli waris korban Lion Air JT-610 ini mengemuka setelah adanya temuan polisi. Bareskrim Polri menduga adanya penyelewengan sebagian dana sosial atau CSR untuk keluarga korban yang dilakukan ACT. Ini terungkap setelah  Presiden ACT Ibnu Khajar dan mantan Presiden ACT Ahyudin pada Jumat (8/7) diperiksa.    (artikel detik.news Selasa, 12 Jul 2022) 

Baca juga : Kolaborasi CH Institute dengan Kompas

Dari kedua kutipan berita diatas, sangat jelas bahwa “sengketa” dalam dunia penerbangan, terutama apabila terjadi kecelakaan pesawat terbang selalu akan terjadi.   Tidak hanya berhubungan dengan nasib keluarga korban, akan tetapi juga banyak hal lainnya.   Dana SAR yang digunakan oleh BASARNAS misalnya, dipastikan akan menggunakan APBN yang berasal dari pajak masyarakat.   Bagaimana bila terjadi kecelakaan tragis seperti dalam Kasus Lion Air dan Air Asia beberapa waktu lalu yang memakan banyak sekali dukungan dana.   Siapa yang harus bertanggung jawab untuk mengganti dana yang digunakan untuk keperluan SAR tersebut.   Bagaimana peran pihak asuransi yang selama ini terlibat dalam pengoperasian penerbangan komersial.   Dalam kasus Garuda misalnya, banyak sekali sengketa muncul antara pihak Garuda dengan Penyewa pesawat terbang. Demikian pula bila terjadi PHK  yang berujung sengketa di Maskapai Penerbangan dan juga Bandara yang kerap menimbulkan pemberitaan di banyak media.   Pemberitaan yang sangat merugikan reputasi pemerintah sebagai regulator penerbangan nasional.

Pada banyak sengketa dalam dunia penerbangan pada umumnya akan melibatkan banyak pihak lintas negara.   Prof.Dr Priyatna Abdurrasjid menekankan bahwa Dunia penerbangan adalah dunia yang sifatnya “antar bangsa”.   Pada titik inilah, maka sudah dirasakan perlunya sebuah badan arbiterase yang akan berperan dalam berbagai sengketa dalam dunia penerbangan.   Badan Arbiterase tidak sebagaimana halnya pengadilan umum yang terbuka sehingga muncul sengketa tambahan di berbagai media.   Badan arbiterase memiliki mekanisme yang win win sifatnya dan tertutup bagi pemberitaan yang luas dan terbuka.   Dengan pola arbiterase dan mediasi maka setiap sengketa yang muncul dapat diselesaikan dengan baik.  

Diselesaikan tanpa munculnya huru hara atau kegaduhan  dalam pemberitaan media baik main stream maupun medsos.   Model penyelesaian sengketa melalui arbiterase akan sangat bermanfaat dalam membantu pihak pemerintah sebagai otoritas penerbangan nasional dan juga bagi maskapai penerbangan, bandara dan para pengguna jasa angkutan udara nasional.  

Pemberitaan yang memunculkan kegaduhan kerap sangat mengganggu perencanaan dan pelaksanaan berputarnya roda pembangunan penerbangan nasional.   Dengan demikian maka sangat wajar bila kedepan dunia penerbangan Indonesia sangat membutuhkan badan arbiterasi dan mediasi yang bertaraf Internasional.

Jakarta 2 Februari 2023

 

Artikel Terkait
Rawannya Wilayah Perbatasan Negara
Sopan Santun dan Bajingan Tolol
Kolaborasi CH Institute dengan Kompas
Artikel Terkini
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
LPER Dilibatkan BNPT Berikan Kuliah Umum Kepada Peserta Didik di Penajam, dan Kutai Kertanegara, Kaltim
Pemprov Papua Barat Daya Serahkan Bantuan Mobil Angkutan Umum untuk Pedagang Mama Papua di Maybrat
Rapat Koordinasi Nasional Bahas Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2024
Evaluasi Penanganan Pengungsi di Maybrat Menunjukkan Kemajuan Signifikan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas