INDONEWS.ID

  • Rabu, 08/02/2023 10:18 WIB
  • Selamat Satu Abad NU

  • Oleh :
    • very
Selamat Satu Abad NU
Perayaan Satu Abad NU di Stadion Delta Gelora Sidoarjo, Selasa (7/2). (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Hamid (Gus Hamid)*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Apa saja yang telah dihikmadkan NU kepada ummat dan bangsa, mungkin sulit dirinci secara detil. Bukan karena tidak ada catatan sejarahnya, tetapi keterlibatannya dalam perjuangan membentuk, mendirikan, dan menegakkan kemerdekaam, telah cukup menjadi bukti bahwa terhadap Indonesia NU telah mempersembahkan dedikasinya yang luar biasa.

Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"

Unsur dinamik itu adalah pesantren, namun bukan hanya dalam pengertian institusionalnya, melainkan lebih signifikan  lagi pada pengertian kulturalnya. Dalam pengertian inilah unsur "kekekalan" itu saya maksudkan. Bahwa, menjadi NU, sesorang tidak harus mendaftar, atau pernah belajar di sebuah pesantren. Itu iya, dan memang, dengan pernah nyantri, mereka akan masuk dan menjadi bagian-dalam dunia pesantren. Namun dunia pesantren juga memiliki mekanisme dan institusi sosial-keagamaan yang dikembangkannya sedemikian rupa dengan cara kreatif dalam membangun afinitas teoritis antara doktrin dengan tradisi.

Hasilnya memang luar biasa, setidaknya secara sosiologis, bahwa bangunan tradisi itu kemudian memiliki hubungan subtil dengan syariat, sehingga pemenuhan tradisi seakan sekaligus pemenuhan syariat, ataupun sebaliknya. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak lagi merasa ada hambatan syar`i ketika hendak, misalnya, melakukan pemenuhan tradisi slametan, ziarah kubur, dan lain sebagainya.

Baca juga : Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap

Inilah yang memungkinkan masyarakat dengan mudah, bahkan seringkali tanpa disadari, tiba-tiba dalam dirinya memiliki penghayatan sebagai warga NU, tanpa pernah nyantri atau menjadi anggota resmi NU. Dengan demikian,  seseorang pada derajat dan level evolusi keagamaan apapun, seperti kelompok masyarakat abangan misalnya, dapat terserap ke dalamnya (NU) dengan nyaman. Pun pula kelompok masyarakat yang sekalipun tampak modern namun pandangan dunianya (weltanchauung) masih kental dengan visi adat-istiadat, sangat mungkin juga merasa lebih hangat. Dengan demikian NU adalah rumah terbuka, hampir tanpa dinding, dan pilar utamanya adalah pesantren.

Kini, dalam usianya satu abad, pilar NU, yakni pesantren, sejak dekade 1970-an juga telah berkembang dalam wajahnya yang makin kompleks, tidak lagi monolit, yakni wajah salaf. Pesantren kholaf (modern) tumbuh dimana-mana dengan berbagai wajah dan institusi-institusi pendidikan yang dikembangkannya. NU pun telah banyak mendirikan universitas, dan banyak pula pesantren hingga memiliki jenjang pendidikan tinggi universitas.

Baca juga : Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik

Para peneliti mensinyalir pada dekade tersebut (1970-an) adalah awal dimulainya urbanisasi kaum santri. Namun apa yang terjadi pada dekade-dekade berikutnya, terutama sejak dekade 1990-an, adalah terjadinya gelombang besar sarjana NU dari berbagai disiplin ilmu. Wajah generasi NU pun berubah,  tidak lagi hanya dipenuhi kaum kiyai dan ustadz-ustadz di kampung, seperti pernah diibaratkan KH Wahab Hasbullah, "mencari insinyur di NU seperti mencari pedagang es lilin di tengah malam". Tetapi kini, dalam jumlah yang hampir sama besarnya, bahkan lebih besar, adalah terdiri dari golongan profesional, dari peneliti, akademisi, politisi, hingga bisnismen.

Kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh dari "tanah" NU itu jelas memerlukan ruang eksistensi dan kiprah baru. Sampai di sini, untuk mempersingkat tulisan, saya ingin mengatakan bahwa NU perlu melakukan lompatan jauh ke depan, melakukan gerakan kembali ke Khittah kedua. Jika pada Khittah pertama adalah menarik NU dari jambangan politik  ---kini perjuangan NU di ranah politik telah diwadahi PKB--- maka kembali ke Khittah kedua adalah untuk mendigdayakan NU sebagai gerakan pemikiran dan ekonomi, sebagaimana visi Taswirul Afkar dan Nahdlatut-Tujjar yang merupakan embrio dan  energi inti berdirinya NU, dan inilah tuntutan peran masa depan NU.

Kini usia NU telah genap satu abad, menyusul usia saudara-saudara tuanya, Jam`iyatul Khair (1901), Perserikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Sarikat Islam (1912), Al-Irsyad (1914), Mathlaul Anwar (1916), Persatuan Islam,  dan beberapa lainnya. Dalam perjalanan panjang itu, meskipun berdiri agak belakangan, NU tumbuh menjadi organisasi terbesar bersama Muhammadiyah. Ada unsur dinamik dan "kekekalan" di dalam NU yang memungkinkan organisasi kaum sarungan ini berhasil tumbuh sedemikian rupa dan memiliki pengikut paling besar.

*) Abdul Hamid (Gus Hamid) adalah Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Jakarta

Artikel Terkait
Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"
Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap
Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik
Artikel Terkini
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas