INDONEWS.ID

  • Jum'at, 24/02/2023 20:11 WIB
  • Jangan Biarkan Mimbar Agama Jadi Panggung Penggiringan Politik SARA

  • Oleh :
    • very
Jangan Biarkan Mimbar Agama Jadi Panggung Penggiringan Politik SARA
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Dr. Syahrullah Iskandar MA. (Foto: Ist)

Jangan Biarkan Mimbar Agama Jadi Panggung Penggiringan Politik SARA

Jakarta, INDONEWS.ID – Politik identitas menjadi momok yang harus dihindari dalam setiap proses demokrasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Juga jelang Pemilu 2024, segala bentuk politik identitas harus ditanggalkan, apalagi yang menggunakan mimbar agama. Hal ini penting agar mimbar agama tidak menjadi panggung syahwat politik kekuasaan.

Baca juga : Ramadan Milik Semua: Melewati Pemilu 2024 Menuju Indonesia Harmoni

“Menjadikan masjid sebagai media penggiringan dukungan politik dalam varian bentuk adalah hal yang tidak boleh dibiarkan, karena akan menimbulkan disintegrasi sosial. Biarkan rumah ibadah digunakan sesuai fungsinya sebagai perekat masyarakat,” ujar Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Dr. Syahrullah Iskandar MA, di Jakarta, Jumat (24/2/2023).

Dirinya melanjutkan, argumentasi pembenaran menggunakan mimbar masjid sebagai sarana penggiringan politik sebagaimana fungsi masjid di masa Rasulullah SAW adalah benar. Namun, situasi sosial kekinian cukup berbeda, karena mimbar agama sering kali menjadi sarana politik hanya untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan duniawi.

Baca juga : Mendagri Beberkan Dukungan Pemerintah dalam Menyukseskan Pemilu 2024

“Ketika umat beribadah itu berorientasi akhirat. Isi khotbah seharusnya mengingatkan dan memotivasi untuk kebaikan, bukan menciptakan perselisihan dan ketidaknyamanan,” tuturnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Pengasuh Pesantren Pascatahfizh Bayt al-Qur’an–PSQ Jakarta ini juga menjelaskan, sejatinya politik yang  mengedepankan identitas masing-masing dan menjadikannya sebagai acuan dalam kontestasi politik adalah hal yang wajar dan sah saja. Tetapi jika lebih pada menjadikan identitas kesukuan, ras, agama, dan semacamnya sebagai acuan dasar dalam pilihan politik, maka politik identitas itu berpotensi mempolarisasi masyarakat.

Baca juga : Massa Gempar Demo Tolak Hak Angket DPR di Gedung DPR/MPR RI, Ini Pesan yang Disampaikan

“Hal negatif yang bisa ditimbulkan adalah potensi konflik berbasis suku, ras, agama, dan semacamnya. Ujungnya, masyarakat terpolarisasi berdasarkan identitas tersebut yang dapat bermuara pada disintegrasi sosial,” jelasnya.

Dalam konteks yang sama, Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) ini juga menjawab tudingan sekularisme yang dilancarkan oleh kelompok yang kontra terhadap isu penolakan politik identitas pada konstestasi Pemilu mendatang.

“Tidak benar kalau dikatakan sekularisme. Dalam konteks ini, tidak ada pemisahan agama dari persoalan politik. Karena berpolitik juga harus mengedepankan moralitas dan visi kebersamaan dan persatuan. Jika mau tegas, politik identitaslah yang justru menjauhkan nilai kebersamaan dan persatuan dalam konteks bernegara,” ucap Syahrullah.

Menurutnya, berpolitik adalah bagian dari bernegara dan agama selalu ada di dalamnya tetapi tidak harus dalam bentuk formalnya. Semua berupaya untuk meraih kemenangan, namun harus tetap dalam koridor taat aturan bersama. Dalam konteks masyarakat yang majemuk, proses politik adalah sebuah keniscayaan. Berpolitik itu sarana untuk meraih kemaslahatan bangsa dan negara. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun haruslah baik dan membaikkan.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan diharapkan mampu merangkul berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran kepaduan sosial. Publikasi tentang bahaya yang dapat ditimbulkan politik identitas perlu dimasifkan secara soft-approach.

“Jalur media sosial harus mendapat perhatian ekstra dan penyadaran kepada masyarakat untuk lebih mengedepankan kesantunan bermedsos juga harus lebih ditingkatkan. Yang tak kalah pentingnya, tokoh politik dan partai politik yang berkontestasi harus elegan dalam menggapai visi dan misi partainya. Jangan karena kepentingan partai atau politik, rakyat digiring dalam konflik,” tutur Anggota Komisi Dakwah MUI Pusat ini.

Guna menghindari rumah ibadah dijadikan panggung politik, diperlukan sosialisasi yang intens kepada segenap pengurus rumah ibadah. Para penceramah juga harus lebih memprioritaskan pada kemaslahatan umat.

“Pengurus rumah ibadah, harus selektif dan mengingatkan kepada penceramah, narasumber yang bertugas agar menghindari uraian atau paparan yang menggiring pada pilihan politik tertentu, baik secara lugas maupun terselubung,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Syahrullah, pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat dan segenap ormas kemasyarakatan, juga tak kalah pentingnya dalam menciptakan suasana yang kondusif.  Masyarakat harus diberikan edukasi tentang peran sosial masing-masing dalam kontestasi Pemilu mendatang. ***

 

Artikel Terkait
Ramadan Milik Semua: Melewati Pemilu 2024 Menuju Indonesia Harmoni
Mendagri Beberkan Dukungan Pemerintah dalam Menyukseskan Pemilu 2024
Massa Gempar Demo Tolak Hak Angket DPR di Gedung DPR/MPR RI, Ini Pesan yang Disampaikan
Artikel Terkini
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Tak Terdaftar di OJK, Perusahaan Investasi asal Hongkong Himpun Dana Masyarakat
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Perkuat Binwas Pemerintahan Daerah, Mendagri Harap Penjabat Kepala Daerah dari Kemendagri Perbanyak Pengalaman
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas