indonews

indonews.id

Ajaran Agama Hanya Sebatas Ritual Tanpa Penghayatan

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan nilai-nilai keburukan. Semua nilai-nilai universal agama selaras dan integral dengan nilai etika dan moralitas secara umum. Karenanya orang yang menjalankan ajaran agamanya secara paripurna, ia juga akan berperilaku secara etis.

Reporter: very
Redaktur: very
zoom-in Ajaran Agama Hanya Sebatas Ritual Tanpa Penghayatan
Benny Susetyo

Jakarta, INDONEWS.ID - Nilai-nilai universal agama menjadi salah satu sumber moralitas tertinggi dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai sebuah negara beragama yang keseluruhan warga negaranya memiliki kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, yaitu Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, maka sebagai sebuah konsekuensi logisnya setiap warga negara  juga berkewajiban menjalankan ajaran agama dan atau kepercayaan yang dianutnya.

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan nilai-nilai keburukan. Semua nilai-nilai universal agama selaras dan integral dengan nilai etika dan moralitas secara umum. Karenanya orang yang menjalankan ajaran agamanya secara paripurna, ia juga akan berperilaku secara etis.

Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang „Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dengan tema Etika dan Agama“, dalam diskusi di Universitas Pattimura (Unpatti) yang dihadiri juga oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada Jumat (20/9).

Kegiatan ini dihadiri sejumlah narasumber, yaitu Moch. Qasim Mathar, Ahmad Najib Burhani, Tamrin Amal Tomagola, Budhy Munawar Rachman, Abidin Wakano, Izak Lattu, Zuly Qodir, Andar Nubowo, Chandra Setiawan, Elga Sarapung, Halili Hasan.

Budayawan Benny Sesetyo mengatakan, fenomena yang terjadi saat ini adalah ajaran agama hanya menggema sebatas pada ritual tanpa penghayatan. Agama hanya dipraktikkan pada tataran simbol dan institusi, bukan dihayati dalam lubuk hati dan diimplementasikan menjadi perilaku.

Para penyelenggara negara yang niretika telah mencederai wajah Indonesia sebagai “negara beragama (religious national state)”. Beberapa problematika di antaranya praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, egoism, hedonism dan flexing/pamer kemewahan, perilaku diskriminatif berbasis SARA dan gender.

Selain itu, perampasan terhadap sumber daya alam, perusakan lingkungan (ecological justice), perdagangan manusia (human trafficking), krisis integritas dan banyaknya conflict of interest, politisasi agama dan politik identitas, menguatnya stereotif negatif dan prejudice, oligarki politik dan ekonomi, munculnya politisi rabun ayam menurut Buya Hamka (radikal, rakus, tamak), rezim agama, ekstrimisme keagamaan, rendahnya amanah dan tanggung jawab dalam pemerintahan hingga menyebabkan erosi kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.

Jika ditelusuri lebih mendalam, akar persoalan etika ini bukan hanya terjadi pada tataran negara, tetapi juga pada tataran masyarakat. Sebab, seperti kata sebuah adagium, “negara fotokopi masyarakat”.

“Seturut dengan ini maka sistem pembentukan karakter masyarakat/bangsa menentukan sistem bernegara yang ideal,” ujarnya.

Satu contoh persoalan masyarakat yang determinan dengan problem kerapuhan etika adalah pola asuh anak yang salah arah. Memberi kebebasan dan toleransi pada anak usia dini secara berlebihan menyebabkan anak menjadi minim tanggung jawab, egois, self sentris, permisif, mentalitas menerabas, tidak disiplin, meremehkan mutu (meritocracy), berwatak lemah, tidak berpendirian, boros, dan tidak mau bekerja keras. 

Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggal serta sistem komunal “big man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga).

Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta. Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakat Barat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mengembangkan sikap mandiri saat dewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadari bahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.

Dia mengatakan, jika dikorelasikan antara akar pola asuh yang membentuk perilaku niretika dan kehidupan masyarakat luas, khususnya para penyelenggara negara, ketiadaan tauladan dari penyelenggara negara akan menggelinding menjadi bola panas yang semakin memperburuk situasi kerapuhan etika di seluruh elemen anak bangsa.

Contohnya, digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru (nitizen) yang kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.

Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika.

Padahal citizen Indonesia diharapkan dapat  mempromosikan sikap toleran seperti dicontohkan Imam Besar Masjid Istiqlal yang mencium kening Paus Fransiskus saat berkunjung ke masjid Istiqlal, Jakarta. Netizen justru menyebarkan berita hoaks yang sungguh keji dan mencederai kerukunan beragama.

Di sisi lain, katanya, paradoks keagamaan juga memiliki banyak problematika. Di antaranya paradoks dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sila tersebut bersifat mandatory monotheism yang memformalisasi kepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuah agama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalam beragama.

Selain itu juga terjadi paradoks dalam harmoni kehidupan beragama. Harmoni itu tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat agama tertentu oleh negara karena pertimbangan keamanan dan ketenangan di masyarakat.

Selain itu terjadi juga pengkelasan dan favoritisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya.

Paradoks yang terakhir adalah ketidakselarasan antara agama dengan perilaku niretika masyarakat yang beragama. Ternyata prilaku niretika ini berbanding terbalik dengan perilaku masyarakat yang beretika di negara sekuler.

Di tengah segala problematika tersebut, yang paling destruktif adalah budaya Machiavelisme yang mengacu pada pandangan bahwa penguasa harus mengutamakan efektivitas dan pragmatisme daripada etika dan moralitas sehingga menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan dan menabrak sendi-sendi moralitas.

“Menghalalkan segala cara demi tujuan (End justifies the means). Contoh Machiavelisme yang kasat mata adalah praktik korupsi, tidak adil, krisis moralitas, politisasi agama, rendahnya pengendalian diri, dan budaya transaksional,” katanya.

Pada akhirnya menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan Plurality Without Equity yang menciptakan problem kemiskinan, dan ketidakadilan struktural di masyarakat.

Selain itu, problem mayoritas dan minoritas juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keadilan dan kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara.

“Semua problematika ini menjadi pelecut bagi para pemikir, akademisi dan elit politik untuk meletakkan keunggulan dan kemuliaan agama sebagai sumber etik utama dalam membentuk perilaku penyelenggara negara,” ujarnya. ***

© 2025 indonews.id.
All Right Reserved
Atas