INDONEWS.ID

  • Kamis, 06/04/2017 18:16 WIB
  • Terungkap, Pengiriman TKI Jadi Modus Perdagangan Manusia

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Terungkap, Pengiriman TKI Jadi Modus Perdagangan Manusia
Bedah buku Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI" oleh wartawan Suara Pembaruan, Edi Hardum, di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (6/4/2017). (Foto: Indonews.id)"
Jakarta, INDONEWS.ID - Sebagian besar pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selama ini terutama sejak 2010 sampai 2015 diwarnai sejumlah pelanggaran hukum yang masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana tersebut dilakukan secara terselubung dengan label atau modus pengiriman TKI, seperti pekerja rumah tangga (PRT) ke luar negeri. Ironisnya, pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut merupakan para calo yang mempunyai jaringan dengan Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), pengurus atau bahkan pimpinan PJTKIS, oknum birokrat dan oknum aparat keamanan seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan hakim, yang bertindak secara tidak langsung. “Tindak pidana perdagangan orang yang bertopeng pengiriman TKI ini terjadi karena tidak berfungsinya negara. Tidak berfungsinya negara berarti juga tidak berfungsinya hukum. Padahal dalam teorinya, Indonesia adalah negara demokrasi. Sebagai negara demokrasi, Indonesia adalah negara hukum. Artinya Indonesia menjujung tinggi hukum dan hak asasi manusia,” ujar penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI” Edi Hardum, dalam diskusi dan bedah buku di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (6/4/2017). Tampil sebagai pembicara dan pembedah buku antara lain, Direktur Justice, Peace, Integrity and Creation (JPIC) OFM Peter Aman, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja Maruli A Hasoloan, Ketua Umum Asosiasi Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Ayub Basalah. Wartawan senior Harian Umum Suara Pembaruan ini mengatakan, pimpinan atau pemilik PJTKI biasanya mempunyai hubungan erat dengan pejabat di lembaga pemerintah terkait seperti Kemnakertrans, BNP2TKI, dan Polri. Sehingga tindakan kejahatan mereka selalu “terlindungi”. “Hal ini dilakukan pelaku semata-mata untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi,” ujarnya. Padahal, sebagai negara hukum, pemerintah (negara) wajib melindungi seluruh warga negara Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan ancaman. Namun, diakuinya, penegakkan hukum masih sangat lemah, sehingga para pejabat dari instansi pemerintah serta oknum aparat keamanan ikut terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang tersebut. Mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM ini mengatakan, perangkat undang-undang yang mengatur dan bisa menjerat pelaku perdagangan orang tersebut sudah sangat lengkap. Sebut saja, KUHP, UU 39 / 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta beberapa undang-undang lainnya. “Namun, semua undang-undang itu kurang maksimal diterapkan,” ujarnya. “Ijonkan” Anak Sejatinya, ada banyak alasan seseorang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) ilegal di luar negeri. Selain tekanan ekonomi, juga karena kurangnya kesadaran PRT pada aturan atau hukum yang berlaku. Selain terus meningkatkan kesadaran masyarakat, Edi juga mendesak aparat penegak hukum agar menghukum orang tua yang “mengijonkan” anak perempuannnya untuk dinikahkan kepada pria berduit. Orang tua seperti ini harus dijerat dengan UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak. “Ada daerah tertentu di Indonesia ini yang mengijonkan anak perempuannya kepada pria hidup belang atau pelaku perdagangan perempuan,” kata Edi. Agar perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI hilang, penegakkan hukum harus ditingkatkan. Polri harus tegas menerapkan UU 21 /2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri atau UU Pengganti UU ini yang tengah dibahas dalam revisi di DPR. Edi mengatakan, sanksi yang diatur dalam UU UU 21/2007 sebenarnya cukup tegas. Pasal ayat (1) menegaskan, “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah”. Sedangkan pasal 3 UU 21/2007 menyatakan, “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah”. Menurut Edi, UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bersifat progresif. Pasalnya, undang-undang tersebut menggunakan asas minimal yakni dihukum minimal tiga tahun penjara. Selain itu, undang-undang tersebut mengatur soal keterlibatan masyarakat dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang (Pasal 60). Undang-undang ini juga membicarakan soal kerjasama internasional dalam memberantas tindak pidana perdangan orang (Pasal 59). Menurut Edi, selain menerapkan UU UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, polisi juga harus menerapkan undang-undang terkait lainnya seperti UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri, UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak, UU 39 / 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 7 / 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrinasi terhadap Wanita. Selanjutnya, Edi meminta Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) agar menindak tegas Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) nakal. “Kalau izin operasional perusahaan sudah dicabut, jangan diberikan izin lagi,” ujarnya. Nama-nama PPTKIS yang sudah dicabut izinnya, kata Edi, harus diumumkan di media massa, bile perlu diiklankan. Selama ini, kata dia, nama-nama PPTKIS yang nakal dan dicabut izinnya cuma ditulis inisialnya saja. “Hal itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada PPTKIS yang bersangkuatan untuk nego dengan pihak tertentu di Kemnaker,” kata dia. Selanjutnya, Edi meminta pelayanan terhadap calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) dan TKI yang masih berada di luar negeri dilakukan secara online. Pelayanan seperti ini dapat mencegah penipuan CTKI ke luar negeri, baik sebagai TKI yang bekerja di sektor formal maupun TKI yang bekerja di sektor domestik (pekerja rumah tangga-PRT). Seperti diketahui, untuk mencegah penipuan CTKI ke luar negeri baik sebagai TKI yang bekerja di sektor formal maupun TKI yang bekerja di sektor domestic worker (pekerja rumah tangga - PRT), pemerintah segera melakukan perekrutan melalui sistem online. Dengan sistem online tersebut, maka seluruh masyarakat Indonesia bisa mengetahui secara pasti kebutuhan pekerja di sebuah negara, lengkap dengan persyaratannya. Pada awal Februari 2016, Kemnaker melakukan uji coba sistem online untuk melayani penempatan dan perlindungan tenaga kerja untuk menyukseskan program perbaikan tata kelola penempatan TKI di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Program ini merupakan embrio layanan satu atap (LSA) yang terintegrasi antarsatuan kerja perangkat daerah di Provinsi NTT. “Layanan satu atap TKI ini dibutuhkan karena NTT merupakan salah satu kantong TKI yang memiliki TKI dalam jumlah besar dan tersebar di berbagai negara,” ujarnya. Yang tidak kalah penting, Edi meminta semua lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Polri agar terlibat dan tegas memberantas tragedi perdagangan orang berkedok pengiriman TKI tersebut. (Very)
Artikel Terkait
Sail Nias 2019, 500 Penari Tarian Kolosal Nias Meriahkan di Hari Puncak
Atraksi Lompat Batu di Desa Bawomataluo, Melatih Ketangkasan Pemuda Nias
P-Five Band Unjuk Kebolehan di Penutupan Kejurnas Gokart 2019
Artikel Terkini
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas