Nasional

Etika dan Budaya Pengendali

Oleh : hendro - Jum'at, 17/05/2019 13:01 WIB

DR.Muhadam Labolo dosen senior dan Dekan PP di IPDN

Jakarta, INDONEWS.ID - Di dunia serba cepat yang ditandai revolusi industri dewasa ini, menjadi manusia ideal rasanya lebih sulit dibanding robot. Robot memiliki intelegensia dan skill yang mungkn melampaui manusia. Selebihnya manusia dianggap masih memiliki kesadaran etik selain kualitas sosialnya yang terikat scara emosional.

Bila itu luntur, maka manusia bukan saja lebih rendah dari binatang, pun jauh dibawah peradaban robot. Sisi baik itulah yang menjadi keunggulan manusia sehingga kata Jack Ma bahwa salah satu pengetahuan yang kompetitif dimasa depan diantaranya adlah filsafat, tentu dengan seperangkat cabangnya seprti etika.

Dari aspek kognisi, manusia seprtinya tak berdaya dihadapan seperangkat kecerdasan buatan yang justru diproduknya sendiri. Etika tampaknya akan membedakan mana manusia, binatang dan robot. Etika adlah nilai positif yang akan menjadi pembatas suci diantara ketiganya.

Robot dan binatang mungkn tidak perlu korupsi sepanjang di desain agar berperilaku  positif, tetapi manusia selalu berhadapan dgn pertimbangan nuraninya yang paling jujur. Perasaan luhur manusia itu kerap dihinggapi oleh perasaan malu, bersalah, serta konsekuensi atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Konsekuensi dimaksud bergantung pada apa yang menjadi keyakinan dalam masyrakat, apkah hukum positif, sanksi sosial, maupun agama. 

Melihat betapa banyak manusia pilihan diruang elit berurusan dengan penegak hukum, maka pertanyaan yg patut direnungkan adalah masih adakah nilai moral yang mesti dipatuhi agar batas demarkasi antara manusia, hewan dan robot mampu dibedakan?  Bila tidak, lalu budaya apakah yang dapat kita adaptasi hari-hari ini dan kedepan selain kebudayaan hewan dan robot? 

Di Asia Timur, budaya malu dijunjung tinggi, apalgi ketika berpapasan dgn kepentingan publik. Mundur dari jabatan hanyalah satu tanggungjawab profesi, tetapi pilihan kematian seprti Harakiri jauh dianggap sakral sbgai pengganti raibnya kesucian moral. Ini soal tanggungjawab moral orang banyak yang menggantungkan hidup pada pemimpinnya. Bagi etnik Bugis, perasaan malu (siri', pakasiri', makasiri') adalah satu contoh budaya malu yg dipegang teguh sekalipun hari-hari ini mengalami kelenturan dan disorientasi (Amin & Mattulada, 2019). 

Di Jepang, budaya malu selalu diikuti oleh perasaan bersalah. Dia tak sekedar berhenti diperasaan malu semata. Perasaan bersalah diaktualisasikan dengan mundur dari jabatan. Sementara konsekuensi dari perasaan bersalah tadi seringkali dipilih lewat jalan pintas, bunuh diri. Seorang pemimpin yang malu karna disangka korupsi biasanya segera mengambil tindakan kedua, yaitu mundur dr jabatan sebgaimana Gubernur Tokyo Yoichi Masuzoe. Terakhir, merka menunggu konsekuensi etik atas perbuatan tersebut, apakah dihukum menurut ketentuan setempat, di isolasi lewat sanksi sosial, atau bahkan menyelesaikan sendiri perasaan malu dan bersalah itu lewat kematian. Bagi mereka, itu setara dgn hukuman di akherat tanpa harus menanti kepastian legalistiknya, sebab hukum positif disadari hanyalah anak kandung dari rahim etika yg lebih tinggi. Kedepan, inilah yang perlu kita adaptasi sebagai panduan nilai & etika personal tanpa mesti menghilangkan nyawa, yaitu perlunya budaya malu (shame culture), budaya bersalah (quilty culture) serta budaya takut atas konsekuensi yg sewaktu-waktu datang mendera (fear culture). (Penulis DR.Muhadam Labolo dosen senior dan  Dekan PP di IPDN)

Artikel Terkait