Sosial Budaya

Indonesia Harus Belajar Bernyanyi, Bukan Teriakan Kebencian

Oleh : very - Selasa, 09/07/2019 22:30 WIB

Paduan Suara UMB dalam kompetisi 56 Internationaler Chorwettbewerb 2019 di Spital An Der Draw, Austria. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Bangsa Indonesia harus banyak belajar dari paduan suara sebagai salah satu upaya menumbuhkan toleransi dan kebhinnekaan. Dalam paduan suara tidak ada suara yang mendominasi, tidak ada ego, belajar patuh, saling menyesuaikan gerak bersama dan menghasilkan suara yang satu, padu dan tidak sumbang. Suara yang indah, kompak dan memiliki power terwujud karena latihan tanpa jemu dan yang terpenting tunduk pada satu dirigen (konduktor).

Demikian ditegaskan oleh Alumnus Lemhannas PPSA XXI Arissetyanto Nugroho, pembina Paduan Suara Mahasiswa Universitas Mercu Buana (PSM UMB) pada Selasa (09/07/2019) terkait dengan kemenangan Paduan Suara UMB dalam kompetisi 56 Internationaler Chorwettbewerb 2019 di Spital An Der Draw, Austria. Dalam kompetisi yang berlangsung dari tanggal 4-8 Juli 2019 ini, PSUMB dikonduktori Agus Juwono. PSM UMB meraih Juara Kedua Kategori B dan Juara Keempat Kategori A. Ajang bergengsi Grand Prix bergengsi tahunan ini hanya 10 negara terpilih di antaranya Amerika Serikat, Afsel, Rep Slowakia, Rep Czech, Spanyol dan Jerman.

Paduan suara, menurut Arissetyanto Nugroho, sangat cocok sebagai wadah anak bangsa  untuk penanaman kembali nilai-nilai Pancasila. Paduan suara tidak hanya sekadar menyalurkan bakat oleh vokalnya, tetapi justru sekaligus sebagai sarana yang tepat untuk berinteraksi antara anggotanya dengan berbagai latar belakang, baik suku, agama, ras, strata sosial dll.

“Kegiatan interaktif yang sangat mendukung terwujudnya sila Persatuan Indonesia adalah paduan suara. Dalam kegiatan ini, tidak ada yang menonjol atau pihak yang bisa menonjolkan diri. Semua anggota harus berupaya mewujudkan suara yang padu, kompak, tidak fales dll. Sekalipun ada satu atau beberapa bersuara sangat merdu, dalam paduan suara, suara bagus itu harus menyesuaikan diri dengan yang lain. Kalau ada satu saja suara yang menonjol dalam paduan suara, sudah pasti akan mengurangi nilai arti dari paduan suara itu,” tegas Arissetyanto Nugroho, yang mantan Rektor UMB.

Gotong royong adalah inti dari paduan suara itu. Jika masing-masing anggota paduan suara, demikian dijelaskan lebih lanjut oleh Arissetyanto Nugroho,  tidak melakukan gotong royong, suara yang dikeluarkan tidak akan padu. Belum lagi jika paduan suara dituntut untuk melakukan gerak dan tari. Jika tidak mampu merawat perbedaan, menjunjung tinggi etika, menghormati satu sama lain dan patuh kepada aba-aba dirijen (konduktor) paduan suara yang solid dan kompak tidak mungkin dapat dibentuk.

“Dalam paduan suara juga berlaku musyawarah untuk mufakat.  Karena berangkat dari semangat, hobi dan menderita bersama, segala sesuatunya dibicarakan bersama sebagaimana yang terjadi pada PSM Universitas Mercu Buana. Sebagai pembina, saya itu bahagia jika melihat mahasiswa-mahasiswi paduan suara bergurau dengan cara mereka. Ketika waktu istirahat latihan, ada satu atau dua anggota yang menyanyi sendiri dan diiringi oleh pianis yang diambilkan dari mereka. Sementara yang satu bernyanyi, sisanya mendengarkan dan memberi apresiasi ketika rekannya selesai bernyanyi,” ungkap Arissetyanto Nugroho.

Aris, demikian panggilan akrab mantan Rektor UMB itu, mengatakan, dalam bernyanyi ada satu ungkapan bahasa latin yakni Qui Bene Cantat Bis Orat, artinya, siapa yang bernyanyi dengan baik, ia sama dengan berdoa dua kali. Artinya, jika anggoa PSM  menyanyikan lagu rohani yang dinyanyikan dengan baik, apakah tidak berarti sebenarnya mereka berdoa dua kali. 

“Termasuk jika kita menyanyikan dengan baik lagu nasional, lagu cinta tanah air, lagu kebangsaan, lagu perjuangan. Isi lagu itu akan memberikan energi pada mereka yang menyanyi dan juga memberikan sentuhan semangat lagu yang ada dalam lagu itu,” ujar Arissetyanto Nugroho.

Sebagian bangsa Indonesia belakang ini atau beberapa tahun belakangan, Alumnus Lemhannas PPSA XXI itu mengajak, terlampau banyak  nada sumbang, nada kebencian, nada permusuhan yang dinyanyikan. Jika bangsa Indonesia bersama-sama melantunkan lagu yang indah, bernyanyi dengan kompak dan baik, tentu bukan kebencian dan perpecahan yang terjadi tetapi persatuan.

“Sepertinya bangsa Indonesia harus banyak menyanyi... yang kita dengar belakangan ini bukan menyanyi tetap teriakan dan suara kebencian. Perlu belajar mereka yang menyanyi dalam paduan suara,” pungkas Arissetyanto. (Very)

Artikel Terkait