Nasional

OSS Bermasalah, KPPOD Minta Tinjau Ulang PP 24 Tahun 2018 dan NSPK Sektoral

Oleh : Mancik - Rabu, 11/09/2019 20:15 WIB


Diskusi Media Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah(KPPOD), Evaluasi Setahun OSS.(Foto:IST)

Jakarta,INDONEWS.ID - Pelaku usaha menharapkan layanan mendapatkan izin yang mudah, tidak berbiaya tinggi dan prosedur sederhana. Namun, studi Tata Kelola Ekonomi Daerah(TKED) KPPOD (2007) menujukkan perizinan masih menjadi beban utama dunia usaha dalam memulai invetasi di daerah. Kenyataan ini juga tergambar pada peringkat Ease of Doing Business(EoDB) Idonesia dalam tiga tahun belakangan yang masih mengekor beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Jakarta, Rabu,(11/09/2019)

Menyikapi kondisi demikian, pada Juli 2018, Pemerintah menerbitkan PP No.24 Tahun 2018 tentang Sistem Pelayanan Perizinan Teritegrasi Berbasis Elektronik.(Online Single Submission). Regulasi ini tidak terlepas dari Perpres No 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelayanan Usaha yang telah diterbitkan sebelumnya.

Regulasi ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan pemerintah sejak 2015 untuk menggenjot kemudahan dan kepastian berusaha di Idonesia. Misalnya, paket kebijakan ekonomi XII kemudian diikuti paket kebiajakan ekonomi XVI yang mengamantkan reformasi struktural(deregulasi-debirokratisasi) perizinan.

Namun, OSS memberikan standar baru sebagai suatu cara kerja(new fashion) dan arah kebijakan(new regime) dalam reformasi layanan perizinan usaha. Semangat utama dari reformasi perizinan berbasis OSS adalah mendorong kemudahan dan kepastian berusaha.

Sementara itu, KPPOD melakukan sutudi evaluasi pelaksanaan OSS pasca setahun dilaksnakan.(uji coba dan pelaksanaan penuh) sejak 2018 silam. Studi ini dilakukan di 6 provinsi,(termasuk 1 kabupaten dan dan kota di provinsi tersebut): DKI Jakarta, Sumatera Utara,(Deli Serdang & Toba Samosir), Kalimantan Barat(Pontianak &Kubu Raya), Jawa Timur(Surabaya &Sidoarjo),Nusa Tenggara Timur(Lombok Tengah dan Kota Mataram dan Sulawesi Selatan(Makassar & Maros)

Studi ini menemukan masalah OSS pada tiga aspek yang berperan pada sukses atau gagalnya implementasi OSS yakni regulasi, sistem dan tata laksana.

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan, ketiga aspek tersebut merupakan tantangan umum OSS di berbagai daerah.

"Pada aspek regulasi pusat, NSPK sektoral yang idealnya menjadi petunjuk teknis pelayanan izin, tidak konkret menerjemahkan PP No. 24/2018 ke dalam prosedur yang mudah diikuti," jelasnya.

Sebagai contoh, jelas Robert Endi, untuk mendatkan Izin Usaha Industri(IUI), pelaku usaha diharuskan mendaftar lagi ke aplikasi SIINAS.Padahal, PP 24 Tahun 2018 jelas tidak mempersyaratkan hal tersebut. Akibatnya, terjadi berbagai macam variasi pada SOP pelayanan izin diberbagai daerah.

Selain NPSK,masalah OSS juga tergambar dalam persoalan disharmoni PP 24 Tahun 2018 dengan UU No 25/2017 tentang Penanaman Modal dan UU No 23/2014 tentang Pemda.Disharmoni ini menyangkut kewenangan memberikan izin yang sebelumnya di tangan kepala daerah sekarang berpindah ke lembaga OSS.

Sementara ada aspek sistem, menurut peneliti KPPOD, Boedi Rheza, salah satu kelemahan sistem OSS adalah fitur penentuan lokasi usaha(location tagging) yang belum sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah,(RTRW) serta ketersedian Rencana Detail Tata Ruang(sejauh ini terdapat 51 dokumen RDTR).

"Hal ini berimplikasi pada pendirian lokasi yang tidak sesuai dengan perencanaan daerah sebagaimana ditetapkan dalam dokumen RTRW, atau bahkan tak berbasis lokasi(blok peruntukan dan persil peruntukan) lantaran ketiadaan RDTR)," jelas Boedi.

Pada aspek tata laksana, OSS juga menemui kendala, baik terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Pada tingkat pusat, sistem OSS belum terintegrasi utuh dengan sistem perizinan K/L. Sementara, di daerah masih terlihat banyak Pemda yang memiliki sistem perizinan daerah mandiri berbasis aplikasi(melalui PTSP) yanh belum terintegrasi dengan lembaga OSS.Bahkan, daerah bisnis utama seperti DKI Jakarta, baru mengintegrasikan JakeEVO dan OSS hanya pada pelayanan perizinan SIUP. Izin-izin yang lain masih dilayani di sistem mandiri DKI Jakarta.

Sejauh ini, menurut Boedi Rheza, belum semua daerah menerbitkan izin usaha dan izin komresial /operasional melalui OSS.

"Keseragaman baru ditemui pada pelayanan NIB saja. Persoalan integrasi, menjadi bahan evaluasi kepada pemerintah untuk segera diselesaikan agar proses perizinan sepenuhnya melayani melalui OSS,"ungkap Boedi.

Menjawab masalah di aats, KKPO memberikan beberapa point rekomendasi yakni:

Pertama: Pemeritah pusat perlu meninjau ulang seluruh regulasi terkait dengan OSS(PP 24 Tahun 2018 dan NSPK Sektoral) sehingga tidak saling tumpang tindih dan memiliki business process perizinan yang sama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua: Pemerintah pusat harus mengupayakan integrasi sistem (OSS dengan sistem mandiri daerah) dan memperbaiki fitur OSS sehingga meminimalisir kendala teknis yang memperlambat birokrasi pelayanan.

Ketiga: Pemerintah daerah baik secara sendiri-sendiri maupun dibantu pemerintah pusat, perlu mematangkan infrastruktur pendukung(unit komputer dan internet) SDM, anggaran dan sosialisasi sehingga mendukung terciptanya perizinan OSS yang lebih optimal.*

 

 

 

Artikel Lainnya