Nasional

Tolak Radikalisme, Intelektual Milenial Harus Perkuat Jati Diri Keindonesiaan

Oleh : very - Rabu, 11/09/2019 21:10 WIB

Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdatul Ulama (PKPNU) Nasional, Dr. Adnan Anwar, MA. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Paham radikalisme saat ini telah masuk ke dalam berbagai ruang intelektual baik melalui kampus maupun aktivitas akademis lainnya. Karenya ada kekhawatiran besar bahwa radikalisme ini telah menjadi wabah di kalangan intelektual milenial.

Mimbar-mimbar akademis dan intelektual dijadikan tunggangan untuk masuknya paham radikal yang dimulai dengan sebaran paham intoleransi dan takfiri. Narasi ini memuncak dengan hadirnya secara terang-terangan politik identitas di ruang publik selama beberapa tahun terakhir yang banyak menyasar intelektual milenial.

Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdatul Ulama (PKPNU) Nasional, Dr. Adnan Anwar, MA., mengatakan bahwa untuk melawan paham radikalisme ini kaum intelektual milenial harus bisa membentengi dirinya dengan memperkuat jati diri ke-Indonesiaannya. Sehingga ada kebanggaan nasional terhadap terhadap negara dan bangsa ini.

“Kita harus berkaca pada sejarah negara kita yang plural ini yang telah didirikan oleh para pendahulu kita ini dengan keadaan beragam. Bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah terbukti menjadi common ideology yang sampai saat ini bisa menyatukan bangsa kita yang beragam ini, baik beragam suku   beragam wilayah, etnis dan agama,” ujar Dr. Adnan Anwar, MA di Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Bahkan Pancasila ini menurutnya, juga sudah menjadi kajian di seluruh dunia baik di Amerika, Eropa dan bahkan di negara-negara Arab yang menyatakan bahwa Pancasila ini bisa menjadi ideologi alternatif dunia. Karena salah satu kekuatan Indonesia itu ada di Pancasila. Dan kebanggaan terhadap nasionalisme bangsa ini harus dimunculkan kepada para generasi intektual milenial.

“Para pemimpin negara, pemimpin ormas ataupun pemimpin Perguruan Tinggi harus rajin membangkitkan kebangaan nasional kepada jajaran dibawahnya bahwa kita (Indonesia) ini jauh lebih baik dibandingkan dengan negara yang lain. Itulah salah satu cara untuk menghindari intoleransi dan takfiri,” ujar Tokojh Muda NU ini.

Lebih lanjut Adnan menjelaskan, agar intelektual milenial tidak mudah terinfiltrasi paham radikalisme mereka harus mengikuti berbagai macam kegiatan yang positif dan sifatnya membangun karakter atau personal building.

“Kalau mereka tidak punya banyak aktivitas atau menyendiri, bukan tidak mungkin mereka akan mudah terpengaruh propaganda dari orang yang mengajarkan ide-ide tentang intoleransi itu. Jadi perlu diperbanyak media untuk beraktivitas atau berekspresi di ingkungan kampus itu” kata mantan Wakil Sekjen Pengurus Besar NU itu.

Menurut Adnan jika para intelektual milenial ini sampai terinfiltrasi paham radikalisme maka negara ini bisa saja hancur karena pemikiran mereka yang desktruktif terhadap negara. Dengan paham takfiri maka orang kafir dianggap halal darahnya, hal ini tentu saja sangat berbahaya karena dapat membunuh orang hanya karena berbeda paham.

“Untuk itu pemerintah jangan ragu-ragu. Sudah benar itu beberapa kasus kampus yang memecat mahasiswa itu tentunya sudah sangat tepat sekali. Kalau bibit-bibit virus seperti ini dibiarkan, tentunya akan sangat membahayakan masa depan negara kita sehingga negara kita tidak bisa mencapai satu abad yang pertama guna menghadapi abad yang berikutnya atau abad kedua. Jadi harus berani ngotot, pemerintah tidak usah ragu-ragu untuk memberantas hal-hal yang bertentangan dengan ideologi bangsa” terangnya.

Untuk itu Adnan menyarankan agar Perguruan Tinggi melindungi mahasiswanya dari infiltrasi paham radikal dan takfiri. Hal ini bisa dilakukan dengan kerjasama dengan lembaga terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk penguatan ideologi kebangsaan. Dan menggandeng pesantren moderat untuk pemahaman agamanya seperti misalnya pesantren Lirboyo di Kediri, pesantren Tebuireng di Jombang atau pesantren-pesantren moderat lainnya.

“Hal ini sebagai upaya untuk memutus mata rantai kelompok Rohis yang berasal dari tingkat SMA. Itu harus diputus dulu, karena radikalisasi ini dimulai dari tingkat SMA. Itu harus diputus dan mentoring harus dibubarkan, karena hal itu sudah ditunggangi oleh kelompok takfiri. Hal itu sudah terjadi sejak tahun 1980-an mentoring itu digunakan oleh mereka untuk rekrutmen,” ujar Peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.

Karenanya menurutnya, langkah yang dilakukan oleh Kepala BNPT selama ini untuk memberikan pembekalan wawasan kebangsaan kepada mahasiswa baru di kampus-kampus di Indonesia dianggap sudah tepat. Karena dari pengamatannya selama ini, kampus-kampus besar negeri yang ada di Jawa ini adalah justru menjadi sumber Takfiri.

“Jadi kampus-kampus besar itu harus dibereskan, jangan dikasih ruang dan waktu. Kalau tidak bisa ya diganti saja itu rektor dan dekannya kalau tidak bisa menangani hal-hal yang seperti itu. Saya kira sudah sangat luar biasa yang dilakukan oleh Kepala BNPT untuk memberikan pembekalan ke kampus-kampus itu.” tutur Alumni Universitas Airlangga Surabaya itu.

Dikatakan Adnan, pihaknya pun selama ini juga sudah masuk ke kampus-kampus untuk memutus gerakan yang bernuansa intoleransi dan takfiri ini agar tidak membesar. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk melindungi para kaum intelektual milenial agar tidak mudah terinfiltrasi paham-paham radikal tersebut.

“Kita juga bekerjasama dengan kader-kader NU yang ada di dalam kampus itu. Masjid-masjid kampus itu kita monitor agar tidak dijadikan sebagai sarang inkubasi radikalisme Indonesia. Dan tentunya harus dibantu dengan pemerintah juga,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait