Buruh Desak Pemerintah Indonesia Buka Kembali Kasus Adelina

Oleh : very - Senin, 29/04/2019 21:40 WIB

Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), organisasi massa mantan dan keluarga buruh migran di Indonesia dan anggota dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menggelar aksi piket di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta, hari ini, Senin (29/4). (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), organisasi massa mantan dan keluarga buruh migran di Indonesia dan anggota dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menggelar aksi piket di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta, hari ini, Senin (29/4).

Mereka mengecam pembebasan majikan yang menyiksa Adelina Sau hingga meninggal oleh Pengadilan Tinggi di Malaysia.  “Pembebasan tersebut adalah sikap diskriminatif, semena-mena dan penghinaan terhadap buruh migran yang selama ini menjadi tulang punggung pembangunan di Malaysia,” ujar juru bicara aksi, Erwiana Sulistyaningsih, di Jakarta.

Adelina Sau (21), korban perdagangan manusia dari NTT, dipekerjakan sebagai Pekerja Rumah Tangga selama 2 tahun. Selama bekerja ia disiksa, tidak dibayar dan ditelantarkan oleh majikan. Dua bulan sebelum ditemukan dengan tubuh lemah penuh luka sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit, ia dipaksa tidur di kandang anjing. Ia akhirnya meninggal tanggal 12 Februari 2018 karena kegagalan sejumlah organ tubuh yang dipicu anemia parah.

Selama tahun 2018, setidaknya ada 105 Buruh Migran Indonesia dari NTT yang meninggal diluar negeri. Dari jumlah ini, sebanyak 95 orang (90%) meninggal di Malaysia dan mayoritas kasus tidak diurus secara hukum. “Sementara sedikit sekali pelaku perdagangan manusia yang dijerat hukum, itupun hanya orang perseorangan tetapi mafia besarnya tidak ada yang ditangkap. Selain itu, sedikit sekali keluarga korban yang mendapat ganti rugi atau restitusi,” ujar Erwiana.

Saat ini, kata Erwiana, pemerintah Malaysia mempekerjakan sekitar 300.000 Pekerja Rumah Tangga baik berdokumen atau tidak berdokumen. Dibawah Employment Act 1955, mereka dikategorikan sebagai pembantu rumah tangga yang tidak memiliki hak seperti pekerja lain di Malaysia.

Dampaknya, banyak majikan yang memanfaatkannya untuk mengeksploitasi dan menyiksa PRT tanpa harus tersentuh hukum. Disisi lain, dibawah peraturan ini, PRT yang kabur karena kondisi kerja yang buruk dan penganiayaan akan langsung dikriminalkan dan menjadi tidak berdokumen.

Dari kasus-kasus yang ditangani Tenaganita, lembaga yang mendampingi buruh migran di Malaysia, Pemerintah dan penegak hukum termasuk Pengadilan terus-menerus menghukum buruh migran atas dasar pembuktian legalitas mereka, yang sebenarnya justru ditentukan oleh majikan atau agen.

Karena itu, aksi buruh pun mendesak pemerintah Malaysia untuk segera membuka kembali sidang Adelina dan menghukum berat majikan. Selain itu, mereka mendesak agar membayarkan semua hak yang belum dibayarkan.  

“Memberi ganti rugi/ konspensasi kepada keluarga Adelina dan mengesahkan ajuan Undang-Undang Perlindungan PRT,” ujar Erwiana.

Sedangkan kepada pemerintah Indonesia, aksi buruh mendesak untuk segera menangkap dan menghukum pelaku utamanya mafia perdagangan manusia di NTT dan seluruh Indonesia.

Selanjutnya, memperjuangkan dengan berbagai cara dibukanya kembali kasus Adelina dan meyakinkan majikan di hukum Berat, serta memperjuangkan segera disahkan undang-undang PRT di Malaysia.

Malaysia sudah lama diuntungkan dari kehadiran buruh migran, termasuk PRT, yang menjadi sumber tenaga kerja murah bagi kemajuan perekonomian Malaysia. “Sudah saatnya Pemerintah Malaysia menghormati hak asasi buruh migran sebagai pekerja dan manusia dengan menciptakan perlindungan hukum yang dibutuhkan,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait