Nasional

Komisi II DPR : Prolegnas Pembahasaan RUU Energi Baru Terbarukan Batal Rampung Tahun Ini

Oleh : Ronald - Jum'at, 12/07/2019 10:05 WIB

Foto ilustrasi energi baru terbarukan (ist)

Jakarta, indonews.id - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak akan rampung pada tahun ini. Pasalnya, masa kepengurusan anggota DPR periode sekarang akan habis pada akhir September 2019.

Disampaikan Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Herman Khaeron, pembahasan RUU baru ini membutuhkan waktu setidaknya dua masa sidang. Apalagi RUU Energi Baru Terbarukan merupakan inisiatif DPR yang harus dikirim ke pemerintah untuk direspon dalam bentuk pembahasan tingkat satu dan dua dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pemerintah, sehingga waktunya tidak akan mencukupi untuk bisa diselesaikan sebelum masa kepengurusan angggota DPR periode sekarang berakhir.

"Kalau menghitung waktu, rasanya memang tidak cukup. Tetapi saya kira segala sesuatunya berawal dari hati, dari niat dan spirit untuk bisa menyelesaikan pembahasan RUU ini,” kata Herman Khaeron yang juga inisiator RUU tersebut saat ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), di Jakarta, Kamis (11/7/2019).

Menurut Herman, yang kembali terpilih sebagai anggota DPR periode 2019-2014 menyakini, pembahasan RUU Energi Baru Terbarukan bisa diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun terhitung sejak pembentukan kabinet baru pada Oktober 2019. Pembahasan RUU tersebut kemungkinan besar juga akan dimulai pada Oktober 2019.

Diakui Herman, salah satu kendala dalam pengembangan energi baru terbarukan adalah persoalan competitive price. Di RUU tersebut, persoalan ini juga menjadi diperhatikan. Sebab diakui ongkos produksi energi yang berbasis nabati masih lebih mahal dibandingkan yang fosil.

"Di dalam UU ini, kami sudah menyiapkan konsepsi, bagaimana sumber-sumber dana yang bisa mengimbangi terhadap competitive price karena harga yang basisnya fosil lebih rendah, sementara yang berbasiskan nabati lebih mahal karena teknologinya belum massal, ongkos produksinya masih lebih tinggi dan harga pasarnya lebih tinggi. Ini yang kemudian disimulasikan, bagaimana undang-undang ini juga mendukung sisi itu. Termasuk pada pemberian insentif, di mana pemerintah wajib memberikan insentif kepada para pelaku usaha yang mau mengembangkan energi baru terbarukan,” ujar Herman.

Herman menjelaskan, pada awalnya RUU Energi Baru Terbarukan tidak masuk dalam Prolegnas maupun prioritas. Gagasan RUU Energi Baru Terbarukan muncul pada awal 2018 dan menjadi inisiatif DPR agar bisa segera dibahas dalam durasi waktu yang terbatas. Hal ini menurutnya sangat penting untuk menjawab persoalan keterbatasan energi fosil yang bisa dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan harian. Saat ini produksi minyak bumi nasional diperkirakan hanya 800.000 barel per hari (bph), sedangkan kebutuhannya mencapai 1,5 juta bph.

"Dari sisi demand, itu meningkat terus. Sementara dari sisi supply atau kemampuan dalam negeri menyiapkan energi fosil tidak cukup mampu mengimbangi permintaan. Kita lifting hanya stagnan di angka 800.000 bph, padahal kebutuhannya sekitar 1,5 juta bph. Kalau situasi ini terus berlangsung, tentu tidak akan menguntungkan bagi kita. Negara lain masih bisa memproduksi besar, suatu saat kita semakin turun dan ketergantungan impor akan semakin besar. Padahal, sebetulnya kita memiliki potensi yang besar pada energi baru terbarukan,” tandasnya. (rnl)

 

 

menyampaikan, pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak akan rampung pada tahun ini. Pasalnya, masa kepengurusan anggota DPR periode sekarang akan habis pada akhir September 2019.

Herman mengatakan, pembahasan RUU baru ini membutuhkan waktu setidaknya dua masa sidang. Apalagi RUU Energi Baru Terbarukan merupakan inisiatif DPR yang harus dikirim ke pemerintah untuk direspon dalam bentuk pembahasan tingkat satu dan dua dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pemerintah, sehingga waktunya tidak akan mencukupi untuk bisa diselesaikan sebelum masa kepengurusan angggota DPR periode sekarang berakhir.

"Kalau menghitung waktu, rasanya memang tidak cukup. Tetapi saya kira segala sesuatunya berawal dari hati, dari niat dan spirit untuk bisa menyelesaikan pembahasan RUU ini,” kata Herman Khaeron yang juga inisiator RUU tersebut saat ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), di Jakarta, Kamis (11/7/2019).

Herman yang kembali terpilih sebagai anggota DPR periode 2019-2014 menyakini, pembahasan RUU Energi Baru Terbarukan bisa diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun terhitung sejak pembentukan kabinet baru pada Oktober 2019. Pembahasan RUU tersebut kemungkinan besar juga akan dimulai pada Oktober 2019.

Herman menjelaskan, pada awalnya RUU Energi Baru Terbarukan tidak masuk dalam Prolegnas maupun prioritas. Gagasan RUU Energi Baru Terbarukan muncul pada awal 2018 dan menjadi inisiatif DPR agar bisa segera dibahas dalam durasi waktu yang terbatas. Hal ini menurutnya sangat penting untuk menjawab persoalan keterbatasan energi fosil yang bisa dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan harian. Saat ini produksi minyak bumi nasional diperkirakan hanya 800.000 barel per hari (bph), sedangkan kebutuhannya mencapai 1,5 juta bph.

"Dari sisi demand, itu meningkat terus. Sementara dari sisi supply atau kemampuan dalam negeri menyiapkan energi fosil tidak cukup mampu mengimbangi permintaan. Kita lifting hanya stagnan di angka 800.000 bph, padahal kebutuhannya sekitar 1,5 juta bph. Kalau situasi ini terus berlangsung, tentu tidak akan menguntungkan bagi kita. Negara lain masih bisa memproduksi besar, suatu saat kita semakin turun dan ketergantungan impor akan semakin besar. Padahal, sebetulnya kita memiliki potensi yang besar pada energi baru terbarukan,” paparnya.

Diakui Herman, salah satu kendala dalam pengembangan energi baru terbarukan adalah persoalan competitive price. Di RUU tersebut, persoalan ini juga menjadi diperhatikan. Sebab diakui ongkos produksi energi yang berbasis nabati masih lebih mahal dibandingkan yang fosil.

"Di dalam UU ini, kami sudah menyiapkan konsepsi, bagaimana sumber-sumber dana yang bisa mengimbangi terhadap competitive price karena harga yang basisnya fosil lebih rendah, sementara yang berbasiskan nabati lebih mahal karena teknologinya belum massal, ongkos produksinya masih lebih tinggi dan harga pasarnya lebih tinggi. Ini yang kemudian disimulasikan, bagaimana undang-undang ini juga mendukung sisi itu. Termasuk pada pemberian insentif, di mana pemerintah wajib memberikan insentif kepada para pelaku usaha yang mau mengembangkan energi baru terbarukan,” ujar Herman.

Artikel Terkait