Nasional

Formappi: DPR 2014-2019 Punya Agenda Ambisius yang Sistematis Layani Nafsu Kaum Elit

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 27/09/2019 01:15 WIB

Peneliti Lembaga Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 memiliki agenda paling ambisius yang sistematis untuk melayani nafsu kaum elit. Hal ini dinilai dari kinerja DPR-RI periode ini yang sangat buruk dengan melahirkan undang-undang yang hanya menyasar kepentingan kaum elitis ketimbang program-program yang pro rakyat. 

Peneliti pada Formappi, Lucius Karus menjelaskan UU MD3 misalnya direvisi berulang-ulang bahkan hingga tiga kali. Tujuannya, mengubah jumlah kursi pimpinan MPR agar semua mendapat bagian yang semula hanya berjumlah lima, kemudian menjadi 8 lalu yang terakhir menjadi 10. Sementara di sisi lain, RKUHP justru cendrung mengkriminalisasi masyarakat kecil. 

"Tidak ada alasan yang cukup untuk mengapresiasi kinerja para anggota dewan periode ini. Kalaupun kinerja mereka baik,ya baik dalam melayani kepentingan sendiri dan kaum elit," jelas Lucius saat memberikan konferensi pers terkait catatan akhir kinerja DPR periode 2014-2019 di Kantor Formappi, Jalan Matraman, Kamis, (26/9/2019).

Selain itu, Lucius menjelaskan beberapa RUU yang disahkan maupun yang sedang dibahas DPR pada periode ini seperti UU Pemilu, UU KPK, RKUHP, RUU Permasyarakatan membuktikan bahwa ada ambisi yang sistematis yang hanya berniat melayani kepentingan kalangan elitis yakni menumbuhkan semangat terhadap praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

DPR, Lucius menambahkan, telah lama berupaya melakukan revisi terhadap UU KPK hingga akhirnya terwujud secara diam-diam dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedikitnya, tambah Lucius, ada empat poin penting dalam revisi UU KPK yang berdampak pada pelemahan kinerja lembaga KPK seperti penyadapan, dewan pengawas, SP3 dan penyelidik dan penyidik.

"Persoalannya, untuk kasus korupsi mega proyek, durasi waktu dua tahun tidak cukup untuk membuktikan keterlibatan para cukong, akibatnya secara otomatis, kasus tersebut dihentikan," jelas Lucius.

Seiring dengan itu, lanjut Lucius, pun kalau sudah menjadi terpidana, RUU Permasyarakatan akan menjadi `surga` yang melegakan dan membebaskan bagi napi koruptor untuk berkeliaran menghirup angin segar atas nama cuti.

Tidak cukup merasakan kenikmatan surga pembebasan atas nama cuti, DPRD tambah Lucius, kembali merancang kitab hukum lain untuk meluputkan mereka dari cercaan dan hinaan masyarakat dengan mensahkan RKUHP.

"Meski ditunda, tapi ini kan soal waktu. Dengar-dengar ditunda pada periode berikutnya yakni 2019-20124"

Sampai di sini, Lucius menjelaskan, kita kemudian bisa menyimpulkan bahwa upaya ambisius yang secara sistematis dirancang DPR dalam melayani nafsu kaum elitis ini bisa dibaca dari mulai direvisinya UU MD3 yang membuka pintu seluas-luasnya dalam mengakomodir semua partai politik.

"Kemudian ditambah lagi dengan revisi UU KPK yang membuka jalan bagi kaum elit untuk menimbun harta pribadi dan RUU Permasyarakatan yang meringankan beban penjara bagi terpidana serta RKUHP bertujuan melindungi terpidana dari kecaman publik" ungkap Lucius.

Selain itu, Lucius mengatakan, kinerja buruk DPR periode ini diperburuk lagi oleh citra kelembagaan parlemen yang dihiasi banyak penyimpangan anggaran, pelanggaran kode etik, kemalasan yang masih menjadi hobi favorit para anggota dewan.

Maka dari itu, di akhir catatannya, Lucius berharap, kinerja buruk yang ditorehkan DPR 2014-2019, harusnya menjadi bahan pembelajaran bagi DPR periode 2019-2024, walaupun, tambah Lucius, mayoritas DPR periode baru masih didominasi oleh wajah-wajah lama.

"Setidaknya, sebagai manusia pilhan rakyat melalui pemilu, mereka mau melahirkan perubahan. Kita perlu anggota DPR yang tak hanya menjadi pekerja tetapi kritis dengan partai dan kekuasaan elit," pungkas Lucius.*(Rikardo)

Artikel Terkait