Politik

Babak Baru RUU KUHP, Jadi Beban Berat DPR Periode 2019-2024

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 01/10/2019 11:01 WIB

Sejumlah mahasiswa berdemo di depan Gedung MPR/DPR RI menolak disahkannya RKUHP (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam rapat paripurna (30/10) mengetuk palu sebagai tanda sah penundaan pengesahan RUU KUHP dan 4 RUU lainnya. Bambang menjelaskan bahwa kesepakatan itu diambil karena seluruh fraksi memahami situasi sehingga menyetujui RUU tersebut ditunda dan `carry over` pada masa persidangan pertama pada periode yang akan datang.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode baru yang dijadwalkan akan dilantik hari ini, Selasa (01/10) disebut mendapat beban berat berupa pembahasan lima rancangan undang-undang kontroversial dan salah satu yang jadi prioritas adalah RUU KUHP.

LSM pemantau parlemen, Formappi, yang menyebut kinerja DPR sebelumnya paling buruk setelah reformasi, mengingatkan anggota DPR tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama yaitu terlalu tinggi memasang target dalam membahas rancangan undang-undang.

Taufik Basari, anggota DPR dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) periode 2019-2024 menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang banyak dikritik dan menimbulkan sejumlah protes, lebih fokus pada pendekatan kriminalisasi.

Tobas, begitu ia akrab disapa, akan duduk di Komisi III dan mendapat mandat dari partainya untuk menyisir ulang draft itu.

"Dengan masalah-masalah itu, kita harus menyisir ulang. Melihat lagi, membaca kalimat per kalimat, kata per kata tiap-tiap pasal untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam RUU KUHP," ujar Taufik Basari kepada BBC Indonesia, Senin (30/09).

Penyisiran pasal demi pasal dalam RUU KUHP, bagi Tobas, penting agar tidak ada multitafsir sehingga membuka peluang kriminalisasi.

"Ketika semangatnya kriminalisasi, akhirnya yang terjadi tidak jelasnya prinsip yang ada di dalam hukum pidana atau mens rea. Jadi harus jelas kehendak jahatnya," sambungnya.

Selama melucuti pasal-pasal itu pula, ia akan mengajak anggota DPR lainnya melibatkan pihak-pihak yang menolak. Ini demi menghindari tudingan serupa yaitu dibahas dalam senyap dan diam-diam.

"Apalagi dengan adanya aksi-aksi demonstrasi begini, harus jadi bahan refleksi, ternyata meskipun kita mendapat suara pemilih, tapi masih tetap diragukan. Itu jadi tantangan besar," pungkasnya.

Tapi keinginan Tobas, ditentang anggota DPR inkumben seperti Masinton Pasaribu dari PDI Perjuangan. Baginya, pembahasan RUU KUHP cukup pada pasal-pasal yang dipersoalkan kalangan masyarakat sipil.

Dalam catatan publik, setidaknya ada 15 pasal bermasalah, seperti perzinaan, korupsi, penghinaan presiden, aborsi, dan gelandangan, sementara Presiden Jokowi sebelumnya menyebut, ada 14 pasal yang harus diperbaiki.

Masinton mengatakan, jika harus menyisir seluruh pasal dalam draft, tidak mungkin karena membutuhkan waktu lama.

"Kalau menyisir secara keseluruhan, itu kan sudah tidak mungkin. Karena menyisir itu butuh waktu... dan itu sudah melalui pembahasan panjang dan bertahun-tahun," kata Masinton seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Sehingga, menurut Masinton, Komisi III periode baru sebaiknya membuka ruang diskusi terkait pasal kontroversial dengan mengundang berbagai perwakilan masyarakat.*(Rikardo)

Artikel Terkait