Nasional

Serikat Pekerja Takut Ahok Bersih-Bersih Pertamina

Oleh : Mancik - Rabu, 20/11/2019 22:15 WIB

Peneliti Alpha Research Database, Indonesia, Ferdy Hasiman.(Foto:IST)


Oleh :Ferdy Hasiman *)

Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN, Erick Tohir, tidak perlu risau dengan penolakan Serikat Pekerja Pertamina terkait kabar mantan Gubernur DKI-Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan mengisi posisi penting di BUMN, seperti PT Pertamina (Persero).Serikat Pekerja Pertamina tidak memiliki alasan masuk akal menolak Ahok menjadi Direktur Utama atau Komisaris Utama Pertamina.

Penolakan itu lebih karena alasan politis dan takut jika Ahok akan bersih-bersih di Pertamina. Ahok pasti akan membersihkan strukutur organisasi Pertamina, memperbaiki kinerja sektor hulu (produksi minyak dan gas), mengolah bisnis hilir (distribusi BBM dan pembangungan kilang) dan memberantas mafia migas.

Alasannya sangat politis menolak karena Ahok bahasanya kasar dan bikin heboh di Pertamina. Alasan seperti ini yang selalu dipakai para penolak Ahok, bahasanya yang cenderung “kasar dan “keras” selalu diangkat agar mempengaruhi opini publik. Padahal, Ahok di DKI-Jakarta itu marah-marah karena birokratnya tak memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dan banyak koruptor.

Koruptor dan birokrasi bebal memang harus ditelanjangi di ruang publik agar ada efek jera. Bahasa yang keras adalah cara Ahok melawan politisi korup yang sering bermain-main dengan anggaran negara dan tak memberikan alasan prima kepada masyarakat”

Keheboan Ahok di DKI-Jakarta tidak pernah membuat pasar berespons negative. Saat ini IHSG sentimennya negative, karena kondisi global belum aman dan perang dagang Amerika Serikat-Cina. Tidak ada kaitannya dengan Ahok ke Pertamina. Justru yang berespons negative terhadap cara berbahasa Ahok adalah para mafia yang ingin agar Pertamina tak tembus pandang, tak transparan agar mereka tetap menjadikan perusahaan migas nasional itu menjadi lahan bancakan.

Ahok itu paham aturan, setiap kebijakan yang diambil di DKI-Jakarta selalu mengikuti aturan. Jika ditempatkan menjadi Direktur Utama Pertamina saya kira Ahok akan sangat paham di mana dia akan diam dan kapan dia akan berbicara lantang. Ketika terkait masalah korporasi dan strategi bisnis, saya kira Ahok akan menjaga cara bicara, jangan sampai strategi bisnisnya diketahui lawan bisnisnya.

Pelaku pasar pasti paham baik seperti apa manajemen Pertamina, cara Pertamina mengolah bisnis dan bagaimana kultur. Struktur organisasi Pertamina itu bertele-tele, Board Of Directornya saja ada 11 orang, masing-masing BOD memiliki 4 Senior Vice President (SPV), setiap SPV memiliki 4 Vice President (VP) dan di bawah VP ada manajer.

Dengan struktur organisasi seperti ini, proses pengambilan keputusan terkait sebuah proyek menjadi sangat lamban. Belum lagi kalau bicara soal Good Corporate Governance (GCG), Pertamina itu kerap merusak lingkungungan hidup.

Bulan november kan ada bocoran minyak di laut Kerawang oleh Pertamina Hulu Energy Offshore North Java (PHONWJ) yang membuat lingkungan tercemar, 14.721 warga terdampak tumpahan minyak.Pencemaran dan pembocoran minyak seperti ini selalu dilakukan Pertamina setiap tahun. Lantas apakah Serikat Pekerja tidak menggaggap pencemaran lingkungan ini serius? Ini kan mau menunjukan bukti bahwa GCG di Pertamina itu tak beres.

Yang paling penting adalah belum ada satu pun direktur utama Pertamina (yang katanya harus punya basic korporasi dan internal Pertamina) bisa membersihkan mafia migas. Bahkan dua direktur Pertamina sebelumnya, Dwi Soetjipto dan Elisa Massa Manik dicopot menteri BUMN karena tidak sukses membangun kilang minyak yang membuat Indonesia terus mengimpor migas dan membuka ruang bagi para mafia migas bermain.

Dirut Pertamina itu harus ditakuti para mafia migas dan bukan bagian mafia migas. Ahok paling pantas mengisi posisi itu, dia ditakuti koruptor dan dia bisa menelanjangi para mafia di ruang publik. Kita berharap tak ada lagi jaringan mafia migas di Pertamina.

Mafia dulu menggunakan PT Pertamina Energi Trading (Petral), anak usaha Pertamina yang bertugas membeli Bahan Bakar Minya (BBM) di perusahaan-perusahaan trading di Singapura. Sulit berantas mafia migas, karena rantai jaringan mereka panjang, mulai dari Pertamina, BUMN, Partai Politik sampai di Istana.

Bahkan mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan pernah berkeinginan membubarkan Petral, tetapi itu hanya wacana untuk pencitraan dirinya karena ingin tampil ke panggung politik tahun 2014. Dahlan tak memiliki nyali membubarkan Petral. Ada cerita, seorang mafia yang sangat terkenal dulu suka mengatur-atur Presiden dan mempengaruhi kebijakan penting di ESDM dan Pertamina. Mafia migas memiliki petron sangat kuat. Itulah mengapa memutus rantai jaringan mafia migas sulit dan sulit bagi Presiden paska reformasi berani melikuidasi Petral.

Jokowi sudah berani melikuidasi Petral di awal periode pemerintahannya, melalui Team Reformasi Tata Kelola Migas. Hanya pemerintahan dan presiden kuat yang berani melikuidasi Petral. Sejak Petral dibubarkan Pertamina membeli langsung minyak melalui Integrated Supply Chain (ISC).

Sejak proses impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) beralih ISC, Pertamina bisa hemat US$ 523 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun selama tahun 2015-2016. Per tahun 2014, total aset Petral mencapai US2 miliar.

Berbisnis dengan Petral di jaman dulu menjanjikan. Tak sembarangan pelaku bisnis yang bisa bekerjasama dan mendapat tender dari Petral. Butuh akses, pengalaman dan harus mampu melayani dengan baik semua rantai jaringan mafia mulai dari Pertamina-penguasa agar bisa survive.

Mafia migas menikmati untung dari penurunan produksi minyak nasional. Sejak tahun 2010-2019 misalnya, produksi minyak terus menurun di bawah 900.000 Barrel Oil Per Day (BOPD). Sementara konsumsi BBM (bensin, solar) domestic mencapai 1.6 juta BOPD. Itu artinya, harus mengimpor 700.000-800.000 BOPD.

Ada cerita seperti mitos bahwa mafia yang bertugas membeli minyak dan dijual kembali ke Pertamina hanya mengambil untung US$3-5 per barrel minyak. Jika saja keuntungan setiap barrel minyak mencapai US$3, maka mafia migas mendapat untung US$2.1 juta atau RP 29.4 miliar per hari jika dirupiahkan dengan kurs Rp 14.000/dolar.

Per bulan Rp 882 miliar dan per tahun Rp 10,5 triliun. Dana itu kemudian dibagi-bagi ke rantai jaringan mafia, sehingga banyak sekali elit bisnis dan politik yang mendapat berkah. Jadi, Petral ini benar-benar menunjukan ada kartel-oligarki di sektor Energi. Bisnis mafia migas dengan Petral itu adalah bisnis triliun rupiah dan ini tentu korupsi sangat besar.

Sampai sekarang, rantai mafia migas masih menempel seperti benalu di Partai Politik, sambil mencari cela bagaimana mereka mencoba bermain kembali dan bagaimana Presiden Jokowi bisa melunak.Saya menganjurkan agar Pak Jokowi dan Pak Erick Tohir tak perlu gubris penolakan Serikat Pekerja Pertamina terhadap figure Ahok yang akan mengisi posisi penting di Pertamina.*


*)Ferdy Hasiman adalah Peneliti Alpha Research Database, Indonesia

 

 

Artikel Terkait