Nasional

Iran Vs Amerika Serikat: Siapa Yang Untung?

Oleh : very - Rabu, 08/01/2020 13:30 WIB

Otjih-Hari Ibu. (Foto: Istimewa)

Oleh : Otjih Sewandarijatun

INDONEWS.ID -- Serangan rudal AS yang menewaskan Mayor Jenderal Qassem Soleirnani, perwira tinggi Iran, memicu kemarahan Teheran. Aksi balas akan dendam memicu potensi konflik besar. Konflik senjata berskala besar dan luas kini serta-merta terbuka lebar di Timur Tengah menyusul tewasnya dua komandan elite militer Iran dan loyalisnya, yaitu Mayor Jenderal Qassem Soleimani dan Jamal Jaafar Ibrahimi alias Abu Mandi al-Mohandis. Mereka tewas dalam serangan rudal Amerika Serikat di dekat Bandara Internasional Baghdad, Jumat (3/1/2020). Al-Mohandis menjabat Wakil Pemimpin milisi Hashed al-Shaabi, yakni kaukus milisi loyalis Iran di Irak yang kini menjadi kekuatan militer terkuat di negara itu. Brigade Al-Quds dan milisi Hashed al-Shaabi, dua kekuatan militer andalan Iran dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah.

Tewasnya Soleimani dan Al-Mohandis merupakan pukulan terberat dan membuat panik Iran dan loyalisnya. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah All Khamenei, langsung menunjuk Brien Esmail Qaani sebagai komandan Brigade Al-Quds. Phillip Smyth, spesialis kelompok bersenjata Shiah misalnya, menyebut serangan tersebut bisa berdampak lebih besar daripada operasi militer AS terhadap musuh-musuhnya, seperti Osama bin Laden ataupun Abu Bakr al-Baghdadi. Negara-negara lain pun prihatin terhadap perkembangan di Irak dan Iran.

Tewasnya Solei-mani dan Al-Mohandis adalah rangkaian dari aksi saling se-rang AS-Iran di Irak. Sebelumnya, pada 29 Desember, pesawat tempur AS menyerang lima pangkalan militer brigade Hezbollah, salah sate unit dalam milisi Hashed al-Shaabi, yang membawa korban 25 tewas dari anggota brigade itu. Serangan AS itu adalah balasan atas serangan belasan rudal brigade Hezbollah ke pangkalan militer K1 di Kirkuk yang membawa korban seorang kontraktor AS tewas. Warga Irak pro-Iran balik membalas dengan menyerang kantor Kedutaan Besar AS di Baghdad. Hal itu membuat sejarah konflik sengit AS-Iran, yang dimulai sejak aksi penyanderaan 52 diplomat AS di Teheran pada tahun 1979, kini kembali mencapai situasi yang mernanas.

Iran dan loyalisnya seperti Hezbollah di Lebanon dan kelompok Al-Houthi di Yaman, bersumpah akan melancarkan aksi balas dendam secara cepat dan dalam skala besar. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menegaskan, akan ada aksi balas dendam keras yang harus ditunggu para kriminal yang tangan mereka berlumuran darah Soleimani dan syuhada lainnya. Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan, Iran akan semakin bertekad melancarkan perlawanan terhadap AS sebagai balasan atas tewasnya Soleimani. Hal senada disampaikan Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami.

Demonstrasi menuntut balas dendam terjadi di kota Arak, Bojnourd, Hamedan, Hormo-zgan, Sanandaj, Semnan, Shiraz, dan Yazd. Israel mengurnumkan siaga pe-nuh dan menutup semua tempat wisata di Dataran Tinggi Golan untuk antisipasi aksi balas dendam Iran. Israel juga mengumumkan semua kantor perwakilannya di seluruh dunia meningkatkan keamanan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperpendek kunjungannnya ke Yunani. AS meminta semua warganya di Irak segera meninggalkan negara itu. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mendesak semua pihak menahan diri pasca kematian Soleimani. Sementara, Kementerian Luar Negeri China mendesak AS. untuk tetap tenang dan menahan diri untuk menghindari meningkatnya ketegangan. Kemenlu Rusia menilai serangan itu merupakan tindakan yang hanya akan mem-perburuk situasi.

Di pihak lain, dengan sikap dan tindakan yang kerap memicu kontroversi, Trump tidak gentar dengan gertakan dan ancaman Iran. Di akun Twitter-nya, dia menantang dan siap merespons serangan balasan dari militer Iran ataupun pendukungnya. Bahkan setelah menginstruksikan pembunuhan terhadap Soleimani, kini Trump memperingatkan bahwa pihaknya menargetkan 52 situs di Iran, apabila Iran menyerang personel ataupun aset milik AS. Trump mengatakan ke-52 situs di Iran yang ditargetkan ter-sebut mewakili jumlah orang AS yang pernah disandera di Kedutaan AS di Teheran, Iran, sejak 4 November 1979 hingga 20 Januari 1981.  Juru bicara Divisi Penerjun 82 Letnan Kolonel Mike Burns mengatakan, 3.500 pasukan akan dikirimkan dalam beberapa hari ke depan. Pasukan itu merupakan anggota brigade divisi pengerahan cepat yang dikenal sebagai Immediate Response Force atau Pasukan Cepat Tanggap.

Sikap keras Trump terhadap Iran sepertinya tidak mendapatkan dukungan di dalam negeri. Ini terlihat pada 4 Januari 2020, 200 ratusan warga dari seluruh Amerika Serikat menggelar protes terhadap serangan udara yang menewaskan komandan militer Iran, Qassem Soleimani. Aksi protes itu diselenggarakan koalisi antiperang yang berbasis di AS, yakni Codepink dan Act Now to Stop War and End Racism, bersama dengan sejumlah kelompok lainnya. Sejumlah pengunjuk rasa berkumpul di Tampa, Philadelphia, San Francisco, hingga New York sambil membawa spanduk dan meneriakkan slogan-slogan anti perang. Penyelenggara protes mengatakan pemerintahan Donald Trump telah memulai perang dengan membunuh Soleimani. Salah satu demonstran, Sam Crook, mengaku dirinya prihatin atas tindakan Trump menabuh genderang perang atas Iran. Menurutnya, AS berada dalam cengkeraman pemimpin yang secara mental tidak stabil. Warga Iran-Amerika, Shirin, mengaku khawatir tentang kemungkinan terjadinya perang dengan Iran karena Iran telah bersumpah untuk membalas dendam kematian Soleimani.

 

Bukan lawan sebanding

Jika perang Iran vs Amerika Serikat terjadi, memang Iran bukan lawan sebanding bagi AS dalam hal persenjataan, namun Iran memiliki pengaruh di kawasan yang bisa merepotkan AS.

Menurut situs Global Fire Power yang memantau militer negara-negara di dunia, Iran berada di posisi 14 dari 137 negara dalam hal kekuatan militer. Sedangkan AS berada di posisi pertama disusul oleh Rusia, China, India, dan Prancis dalam ranking 5 besar. Iran punya dua jenis angkatan bersenjata, yakni pasukan reguler atau Artesh dan Korps Garda Revolusi Islam atau IRGC. Menurut Kementerian Pertahanan AS atau Pentagon, tugas Artesh adalah menjaga keamanan di dalam negeri, sementara IRGC memperluas pengaruh Iran di kawasan dengan melakukan perang proksi.

Jumlah personel aktif Artesh adalah 350 ribu orang sedangkan IRGC 150 ribu, dengan cadangan sekitar 350 ribu personel. Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan personel aktif AS yang mencapai hampir 1,3 juta orang dengan tentara cadangan 860 ribu personel. Total anggaran belanja pertahanan AS mencapai USD 716 miliar, atau sekitar 113 kali lipat dibanding Iran yang hanya USD 6,3 miliar. Anggaran tersebut juga tidak maksimal dibelanjakan karena Iran kesulitan mengimpor persenjataan karena sanksi dan embargo AS.

Iran hanya memiliki sekitar 500 pesawat tempur, 1.634 tank, dan 398 armada perang laut. Sementara AS memiliki 13.398 jet tempur, 6.287 tank, dan 415 armada perang laut, termasuk 24 kapal induk. Iran tidak punya kapal induk, angkatan laut Iran terbanyak adalah kapal selam berjumlah 34 unit. Namun Iran unggul dalam peluncur roket, yakni 1.900 unit sementara AS 1.056 unit. Inilah yang paling dikhawatirkan oleh AS. Menurut laporan Pentagon, Iran memiliki rudal balistik yang akan menjadi senjata utama mereka dalam menghadapi serangan udara musuh. Menurut Pentagon, persenjataan rudal Iran terbesar di Timur Tengah, baik untuk serangan jarak pendek, menengah, atau jauh. Kekuatan rudal ini untuk menutupi kekurangan mereka dari sisi kekuatan udara. Rudal Iran bahkan mampu mencapai jarak hingga 2.000 kilometer.

Iran memiliki keuntungan dalam perang laut karena aksesnya yang strategis di Teluk Persia dan Selat Hormuz. Pentagon menyebut Iran bisa menutup akses tersebut bagi perdagangan dengan mengerahkan kapal-kapal perang mereka. Soal kemampuan drone Iran juga mengkhawatirkan AS. Pentagon mengatakan kemajuan teknologi pesawat nirawak (UAV) Iran mengkhawatirkan buat AS. Iran telah beberapa kali melancarkan serangan dengan drone di Suriah dan Irak.

Militer Iran juga memiliki strategi khusus jika berperang dengan AS, yakni memanfaatkan kekuatan proksi mereka di negara-negara tetangga. Sejak lama Iran dituding berada di balik kekacauan di Timur Tengah, di antaranya di Yaman, Suriah, atau Irak.

Kebanyakan mitra Iran di kawasan adalah kelompok milisi Syiah, seperti Houthi di Yaman, Kataib Hizbullah di Irak, atau Hizbullah di Lebanon. Yang memelihara koneksi dengan kelompok ini adalah Pasukan Quds, sayap intelijen IRGC, yang sebelumnya dipimpin Solemani. Kelompok yang dibekingi Iran ini jadi ancaman bagi fasilitas AS di luar negeri jika perang terjadi.

 

Dampaknya

Belum terjadi perang terbuka antara Iran vs AS, ternyata ketegangan di antara keduanya ternyata menimbulkan ancaman baru bagi perekonomian global. Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah menilai memburuknya hubungan AS dan Iran akan merusak tren sentimen positif di pasar keuangan global yang terbangun pasca kesepakatan perang dagang AS dan Tiongkok.

"Kekhawatiran akan terjadinya perang antara AS dan Iran akan menahan aliran modal asing masuk ke negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia, dan ini tentunya akan berdampak negatif terhadap IHSG dan juga rupiah," ujar Piter dalam pesan singkatnya, kemarin.

Dalam perdagangan terakhir pekan lalu, IHSG dan rupiah memang masih terlihat mengalami penguatan. IHSG ditutup menguat 39 poin di 6.323 dan rupiah masih berada di bawah 14.000 per dolar AS. Namun, arah pelemahan mulai terlihat dari melemahnya sejumlah bursa global dunia pascaserangan AS ke Iran.

Dampak dari ketegangan itu juga masuk dari jalur perdagangan. Hal itu dapat terlihat dari kenaikan harga minyak. Harga minyak jenis Brent naik 4,4% ke level US$69,16 per barel. Untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 4,3% ke US$63,84 per barel pada perdangan pekan lalu.

Sementara, harga minyak melonjak lebih dari empat persen pada 3/1/2020 menyusul berita bahwa AS telah membunuh seorang jenderal top Iran. Hal ini mengipasi kekhawatiran barn akan konflik di kawasan kaya minyak mentah dengan Teheran memperingatkan pembalasan. Mata uang yen naik 0,7% terhadap dolar dan emas naik 1,4% menuju US$1.600. Mata uang berisiko tinggi mundur terhadap greenback dengan won Korea Selatan turun 0,6%, dolar Australia turun 0,4% dan rand Afrika Selatan turun lebih dari satu persen. Ekuitas beragam setelah rally untuk hari kedua tahun ini pada optimisme perdagangan Tiongkok-AS. Hong Kong turun 0,3%, Shanghai berakhir turun 0,1%, Singapura turun 0,7%, sementara Mumbai turun 0,5%. Namun, ada keuntungan di Sydney, Seoul, Wellington, Manila, dan Taipei.

*) Pemerhati masalah internasional.

Artikel Terkait