Opini

Kepala Daerah dan Omnibus Law

Oleh : indonews - Minggu, 11/10/2020 19:08 WIB

Otjih Sewandarijatun, pemerhati masalah strategis Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh : Otjih Sewandarijatun*)

INDONEWS.ID -- Sejumlah kepala daerah tercatat menolak Omnibus Law antara lain Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, Bupati Bandung Barat Aa Umbara, Bupati Bandung Dadang M Naser, Wali Kota Sukabumi Ahmad Fahmi, Bupati Subang H Ruhimat, Bupati Garut Rudi Gunawan, Bupati Tegal Umi Azizah, Bupati Limapuluh Kota Irefendi Arbi, dan Wali Kota Malang Sutiaji (https://republika.co.id/berita/qhwsjj484/daftar-gubernur-dan-wali-kotabupati-yang-tolak-omnibus-law).

Tampaknya tidak semua sepakat dengan tindakan yang dilakukan kepala daerahnya, terbukti Gubernur Jaw Barat, Ridwan Kamil diminta untuk mundur dari jabatannya jika ikut menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR RI. Hal itu yang diminta Politikus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Teddy Gusnaidi yang meminta Ridwan Kamil mundur dari jabatannya jika menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com pada akun Twitter @TeddyGusnaidi, Dewan Pakar PKPI ini menegaskan, Ridwan Kamil sebaiknya tidak main dua kaki. Artinya, dia wajib mematuhi aturan pusat tentang Omnibus Law.

“Ridwan Kamil cs kalau mau menolak UU Cipta Kerja, ya lepas gubernurnya, karena ada kewajiban dalam UU pemerintahan daerah,” ucap Teddy Gusnadi pada akun Twitter, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Teddy Gusnadi juga mengatakan, jika Gubernur Jawa Barat itu berjuang untuk rakyat menolak UU Cipta Kerja, harus berani turun dari jabatannya. “Kalau benar Ridwan Kamil berjuang untuk rakyat menolak UU Cipta Kerja, ya harus berani mundur dari jabatan Gubernur, jangan dua kaki, masih mau makan dari jabatan tapi gak mau melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah,” ucap Teddy Gusnadi.

Meskipun Ridwan Kamil merupakan kepala daerah yang mendukung Jokowi pada pilpres 2019 lalu, Teddy Gusnadi mengaku tidak peduli. “Ya terserah, mau Ridwan Kamil dulu dukung Jokowi, bukan berarti kalau dia ngawur gue benarkan,” Katanya. “Wong para Menteri yang ngawur aja gue sebutkan namanya dan gue sampaikan di TV nasional yang ditonton jutaan orang agar mereka dipecat, apalagi cuma RK. Gue gak peduli, gak ada urusan,”ucap Teddy pada akun Twitter.

 

Sinergi Mewujudkan Pemerintahan yang Agile

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diundangkan pada 18 Maret 2015 terutama di pasal 65 (1) menyebutkan Kepala daerah mempunyai tugas yaitu memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD; Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama; Mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang mengajukan rancangan Perda; Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; Menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat; Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika menilik kepada Undang-Undang diatas, maka sikap kepala daerah yang turut menolak Omnibus Law jelas akan menimbulkan persepsi dan pertanyaan yaitu apakah “manuver politiknya” dapat memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di daerahnya?, termasuk apakah sesuai dengan wewenang kepala daerah yaitu melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, menurut penulis, sikap yang diambil kepala daerah sebaiknya menunggu pelaksanaan Omnibus Law setelah diundangkan, jika merugikan daerahnya baru melakukan langkah “perlawanan konstitusional”.

Penulis sangat yakin jika sikap beberapa kepala daerah dalam menolak Omnibus Law juga menggambarkan secara implisit yaitu adanya egoisme kebijakan antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, seharusnya baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat bekerjasama untuk keselamatan dan kemakmuran rakyat, adalah yang utama dengan menyingkirkan egoisme sektoral dan pribadi dengan membangun sinergitas dan solidaritas antar pemerintahan dan collaborative participative, sehingga seluruh jajaran pemerintahan akan menjadi agile dan adaptif dalam mengantisipasi dan mencari keuntungan bagi rakyat dalam setiap perubahan yang dilaluinya.

Sebab jika tidak, maka sikap kepala daerah secara terang-terangan berbeda diametral dengan pemerintah pusat akan menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa telah terjadi faksionalisasi. Dalam leksikon ilmu politik, Belloni (1978) membagi tipologi faksionalisasi ke dalam tiga jenis : pertama, faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan pandangan dalam merespons isu-isu politik. Kedua, faksi yang terbentuk dari relasi patronase politik. Ketiga, faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisasi seperti di Italia dan Jepang. Tampaknya jenis pertama dan kedua sudah semakin mengental di Indonesia, yang jika tidak diantisipasi akan mewujud dalam faksionalisasi jenis ketiga yang jelas akan merugikan NKRI.

Dan juga tidak menutup kemungkinan isu Omnibus Law juga “dimainkan” dalam menyambut Pilkada 2020 dengan memanfaatkan Medsos dan media massa konvensional lainnya. Calon-calon kepala daerah akan “memainkan beberapa drama” terkait Omnibus Law, hal ini sesuai dengan teori dramaturgi dari Erving Geoffman yang mengandaikan kehidupan sebagai panggung teater, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu. Geoffman menyebutnya sebagai panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Dan tidak ketinggalan akan memunculkan fenomena telepolitics oleh Michael Bauman (2007) adalah bergesernya peran partai dan munculnya dominasi media, terutama TV dalam memersuasi pemilih. TV mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal. Interaksi melalui TV lebih bersifat one way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih. Melalui apa yang disebut the illusion of presence, kamera berpretensi memermak wajah asli partai dan politisi. Menguatnya iklan-iklan politik juga dapat mendorong parpol untuk lebih mengedepankan “serangan udara” daripada kerja-kerja konkret di lapangan.

*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.

Artikel Terkait