Nasional

Dinilai Menindas Buruh, KSPI Tolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law

Oleh : Mancik - Senin, 17/02/2020 09:45 WIB

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.(Foto:Tribunnews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menyatakan dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI. Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Ombinus Law dinilai menjadi mesin penindas bagi pekerja, hanya memihak kepada kaum pemilik modal.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, RUU Cipta Kerja sama sekali tidak memberikan jaminan berupa kepastian pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security), dan kepastian jaminan sosial (social security) kepada kaum buruh. Padahal, menurut Iqbal, ketiga hal ini, merupakan prinsip dasar yang mesti dipenuhi dalam hukum ketenagakerjaan.

"Karena tiga prinsip tadi tidak terdapat dalam RUU Cipta Kerja, maka KSPI menyatakan dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law," kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya yang diterima Indonews, Jakarta, Senin,(17/02/2020)

Penolakan KSPI terhadap RUU Cipta Kerja, kata Iqbal memimiliki pendasaran yang dapat diterima akal sehat. KSPI menginginkan peraturan perundangan-undangan yang mengatur ketenagakerjaan tidak hanya memberikan keuntungan terhadap pemilik perusahaan semata, namun harus mampu menghadirkan kesejateraan terhadap pekerja.

Kenyataan yang ada, terang Iqbal, RUU ini menjadi ancaman serius terhadap kelas pekerja.Hal ini ditandai dengan beberapa kelemahan dalam RUU tersebut yakni tidak adanya kepastian kerja tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak seumur hidup tanpa batas, PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan TKA buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan berpotensi bebas masuk ke Indonesia.

Berikut adalah 9 alasan KSPI menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law:

1. Hilangnya Upah Minimum. Hal ini terlihat dengan munculnya pasal yang menyebutkan, bahwa upah didasarkan per satuan waktu. Ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, maka otomatis upah minimum akan hilang.

2. Hilangnya Pesangon. Siapa bilang di RUU Cipta Kerja pesangon tidak hilang? Kalau kita baca secara keseluruhan dari RUU ini, pesangon akan hilang. Hal ini, karena, penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak seumur hidup dibebaskan sebebas-bebasnya. Outsourcing dan kontrak tidak mendapatkan pesangon. Dengan sendirinya, pesangon akan hilang.

3. Karyawan Kontrak Seumur hidup. RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Bahkan bisa saja, buruh dikontrak seumur hidup. Karena kontrak kerja hanya didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh.

4. Outsourcing Seumur hidup. Di dalam RUU Cipta Kerja, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Dengan demikian, buruh bisa saja di outsourcing seumur hidup. Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk 5 (lima) jenis pekerjaan yang bukan core bisnis.

5. Waktu Kerja yang Eksploitatif. Di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal ini menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.

6. TKA buruh kasar Unskill worker Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia. Hal ini terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari Menteri bagi TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi.

7. Hilangnya Jaminan Sosial. Akibat penggunaan buruh kontrak, outsourcing, dan upah dibayarkan per satuan waktu (upah per jam), maka jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akan hilang.

8.PHK Sangat Mudah Dilakukan. Sudahlah tidak ada pesangon, PHK bisa dengan mudah dilakukan.

9.Sanksi Pidana Hilang. Dalam UU 13/2003, pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling 5 tahun dan/atau dengan paling sedikit 100 juta dan paling banyak 500 juta. Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana ini dihilangkan.*

Artikel Terkait