Nasional

Ward Berenschot, Ph.D : Pemilu di Indonesia Lebih Berorientasi pada Calon Ketimbang Parpol

Oleh : very - Selasa, 18/02/2020 11:09 WIB

Associate Researcher LP3ES/Leiden University, Ward Berenschot, Ph.D dalam Seminar LP3ES dengan Tema Konsolidasi Demokrasi Menuju Keadilan Sosial, di Jakarata Selatan, Senin (17/2). Seminar ini adalah rangkaian dari penutupan Sekolah Demokrasi LP3ES yang dilaksanakan selama 3 hari dari tanggal 15 s.d 17 Februari 2020 bertempat di kantor LP3ES, Cinere Depok. (Foto: Indonews.id)

 

Jakarta, INDONEWS.ID --  Pemilihan Umum di Indonesia lebih merupakan pertarungan para elit politik dan bukan pertarungan antara partai politik. Karena itu, yang terpilih juga lebih merupakan para calon, ketimbang partai politik peserta pemilu.

“Hal itu terlihat dari jawaban atas pilihan rakyat. Mereka lebih memilih seorang calon dalam pemilu atau pemilukada, ketimbang partai politik. Karena itu, demokrasi di Indonesia lebih berorientasi para calon, atau canded center, lebih fokus pada calon, bukan partai politik,” ujar Associate Researcher LP3ES/Leiden University, Ward Berenschot, Ph.D dalam Seminar LP3ES dengan Tema Konsolidasi Demokrasi Menuju Keadilan Sosial, di Jakarata Selatan, Senin (17/2). Seminar ini adalah rangkaian dari penutupan Sekolah Demokrasi LP3ES yang dilaksanakan selama 3 hari dari tanggal 15 s.d 17 Februari 2020 bertempat di kantor LP3ES, Cinere Depok.

Penulis buku “Democracy for Sale” ini mengatakan, sistem demokrasi di Indonesia cenderung membuat orang berpikir bahwa calon terpilih, yaitu Bupati, Gubernur, Wali Kota, dan anggota DPR, DPRD berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi, atau setidaknya mendapat sokongan dari kaum berduit.

Hal itu berakibat ketika terpilih, mereka hanya mengusahakan kesejahteraan kelasnya atau mengembalikan uang. “Hal ini berakibat terjadinya politics inequalitity, karena para calon tidak mewakili semua kelas sosial di dalam masyarakat. Orang yang berasal dari kelas ekonomi tinggi sulit memperjuangkan terciptanya keadilan sosial di tengah masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, katanya, partai politik juga cenderung meminta “sumbangan” dari para calon yang berakibat pada politik berbiaya tinggi. Hal inilah yang membuat susah mencapai keadilan sosial.

Dia mengatakan, peran partai politik di Indonesia terbilang lemah dibandingkan dengan peran para calon. Setidaknya ada tiga indikasi yang memperlihatkan kelemahan partai politik tersebut.

Pertama, peran parpol dalam kampanye pemilihan legislatif, pilkada maupun pilpres. “Hal ini terlihat dari spanduk para calon. Logo yang dicantumkan di sana itu adalah para tokoh yang mampu menggerakan sang calon seperti para ustadz, ulama, atau para tokoh masyarakat, minus nama parpol. Jadi, sang calon membuat jaringan mereka sendiri untuk memenangkan kampanye tanpa partai politik,” ujarnya.

Hal inilah yang memunculkan fenomena tim sukses di Indonesia. Tim sukses ini diyakini mampu menggalang mobilitas masyarakat yang cukup tinggi.

Kedua, parpol tidak aktif di kalangan pemilih. Hal ini, katanya, terbukti dari sepinya kantor partai politik dikunjungi warga untuk menyampaikan aspiranya.

Beda dengan di India misalnya. Di sana justru parpol sangat aktif membantu masyarakat untuk mengatasi permasalahan.

Ketiga, masyarakat di Indonesia cenderung merasa tidak dekat dengan partai politik.

Berdasarkan hasil survei, pada awal demokrasi di Indonesia menunjukkan kedekatan parpol dengan masyarakat sebesar 50 persen. Namun, hal ini menurun, yaitu setelah 2004, menjadi sekitar 30 persen saja.

Padahal, menurut Ward, peran partai politik sejatinya sangat penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Tanpa parpol yang kuat, kampanye akan menjadi lebih mahal karena seorang calon pasti akan membangun jaringannya sendiri.

Selain itu, melalui parpol, orang dari kalangan masyarakat bawah bisa mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam pemerintahan atau jabatan penting lainnya.

Hal lainnya yaitu sebuah ide atau gagasan menjadi sangat penting jika diperjuangkan melalui partai politik.

 

Hambatan Struktural

Namun, katanya, ada sejumlah hambatan struktural dari lemahnya peran partai politik di Indonesia.

Pertama, karena Indonesia menerapkan sistem terbuka dalam memilih legislatif. Sistem ini akan berakibat seorang calon akan bersaing secara terbuka dengan calon lain dari satu partai.

Kedua, seorang calon harus mencari dukungan agar melengkapi 20 persen syarat pencalonan. “Dari sisi demokrasi ini berakibat bahwa bahwa calon tersebut bukan calon dari partai politik. Ini membuat kompetisi berlangsung di antara individu dan bukan partai politik,” ujarnya.

Ketiga, masyarakat tidak bisa mengakses kekayaan negara melalui partai politik.

Karena itu, untuk memperkuat peran parpol ke depan, salah satu caranya yaitu melakukan integrasi pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah. “Integrasi ini bisa dilakukan dengan cara yaitu calon yang diajukan oleh partai politik pemenang pemilu bisa langsung diangkat menjadi kepala daerah,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait