Nasional

Argumentasi Kemanusiaan Bukan "Senjata Sapu Jagad" untuk Bebaskan Para Pelaku Korupsi

Oleh : very - Selasa, 07/04/2020 20:15 WIB

Pengamat politik dari President University, Muhmmad AS Hikam. (Foto: Kastara.co)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Problem undercapacity atau kapasitas yang kurang, yang dihadapi  lembaga pemasyarakatan (Lapas) dirasakan oleh banyak pemerintah di seluruh dunia. Bahkan negara-negara maju pun mengalami soal ini, bukan hanya di Indonesia saja. Hal tersebut bukan hanya karena terlalu banyaknya jumlah napi dan minimnya jumlah Lapas, tetapi juga karena problem sistemik yang dihadapi oleh peradilan pidana, atau criminal justice system dari negara-negara yang bersangkutan.

Wacana dan praksis terkait pemberian remisi atau pengurangan masa tahanan, atau yang sekarang sedang populer yaitu pembebasan napi karena adanya kekhawatiran penularan Covid-19 adalah salah satu implikasi dari masalah sistemik tersebut. Apabila ini tidak dicarikan solusinya, maka yang terjadi adalah penyelesaian masalah yang hanya pada kulit-kulitnya saja.

Hal tersebut dikemukakan oleh pengamat politik dari President University, Muhmmad AS Hikam, di Jakarta, Selasa (7/4).

“Argumen-argumen ‘kemanusiaan’ yang acap diajukan untuk melakukan remisi, disamping jumlah terpidana yang terlalu besar, tentunya bisa dimengerti, namun juga tidak bisa dipakai sebagai senjata ‘sapu jagad’. Apalagi jika kemudian digunakan untuk membebaskan atau mengurangi pemenjaraan para pelaku pidana luar biasa seperti korupsi, pengedar narkoba, teroris, dll yang diatur negara,” ujarnya.

Hikam mengatakan, Pemerintah harus menyelesaikan masalah sistemik tersebut dengan melakukan reformasi sistem. Para ahli hukum yang peduli dengan persoalan steategis ini pastilah sudah punya berbagai usulan solutif yang bukan hanya pemberian remisi dan program-program ad hoc seperti pembebasan karena bencana alam atau non alam semata.

“Ini yang semestinya diperhatikan oleh Menkumham dan semua pemangku kepentingan terkait Lapas,” ujarnya.

Fakta menunjukkan ada berbagai perbedaan fasilitas antara misalnya para terpidana korupsi dengan terpidana umum. “Saya sebagai orang awam di bidang hukum mempertanyakan soal perbedaan ini, sebab intinya bukankah penjara merupakan salah satu upaya penjeraan terhadap siterpidana? Kalau para koruptor masih menikmati fasilitas yang mewah dalam penjara khusus mereka, apakah artinya upaya penjeraan tersebut?,” kata Hikam.

Sebaliknya, jika fasilitas Lapas untuk para terpidana umum sangat menyedihkan, overcrowded, tak manusiawi, dll, maka penjeraan juga tidak akan efektif. Karena dengan kondisi demikian bisa saja muncul perilaku-perilaku menyimpang di antara para terpidana tersebut.

Alih-alih terjadi penjeraan, justru dalam Lapas seperti itu akan menjadi tempat "pelatihan" bagi terpidana tertentu untuk makin meningkatkan level perilaku kriminalnya. Atau Lapas menjadi tempat penyiksaan dan bukan pemasyarakatan bagi para terpidana.

“Jadi intinya, reformasi sistem adalah prioritas untuk memecahkan persoalan yang sangat akut terkait fasilitas Lapas. Penyelesaian-penyelesaian yang ad hoc dan apalagi bermuatan politik saya kira hanya akan bersifat sementara dan potensial menciptakan kontroversi publik atau bahkan salah satu sumber dari disfungsi dalam pengelolaan negara dan masyarakat,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait