Nasional

Surat Sakti, Conflict Interest dan Potensi Korupsi

Oleh : indonews - Sabtu, 25/04/2020 15:30 WIB

Agus Triyono adalah Analis Komunikasi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, dan Dosen di Universitas Dian Nuswantoro Semarang. (Foto: Ist)

Oleh: Agus Triyono*)

INDONEWS.ID -- Beberapa hari lalu publik dikejutkan dengan berita yang heboh. Bahkan di kalangan warganet atau netijen juga dibuat geram atas munculnya surat sakti dari salah satu staf khusus milenial presiden, Andi Taufan Garuda Putra (ATGP). Bagaimana tidak, ditengah suasana orang lagi sangat waspada dan berupaya mengatasi pandemi Covid-19 untuk segera berakhir, malah ada berita dan informasi tentang ATGP yang membuat sensasi layaknya selebriti. ATGP diketahui mengirim surat kepada banyak semua camat dengan menggunakan kop resmi sekretariat kabinet Republik Indonesia.

Awalnya ia mengenalkan dirinya sebagai Staf Presiden dan kemudian baru pada substansi surat untuk mendukung misi perusahaannya PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dengan dalih edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) demi melawan wabah virus corona ( Covid-19). Terbitnya surat tersebut, jelas mengundang polemik pada masyarakat luas karena dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Dalam perspektif komunikasi, untuk apa ATGP menyurati camat seperti itu? Toh sebenarnya dirinya juga sudah berkomunikasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Hal itu, disinyalir untuk berkontribusi dan membantu desa-desa di daerah. Kalau tujuannya membantu tentu sudah cukup dengan koordinasi dengan kementerian itu. Tetapi yang dilakukannya justru dengan membuat surat sendiri mengatasnamakan Staf Presiden,  inilah yang menjadi persoalan serius.

Kalau melihat konteknya, menurut saya ada unsur kesengajaan dan memanfaatkan kesempatan sebagai Staf  Khusus Presiden. Ini membuktikan bahwa ATGP tidak memahami posisinya sebagai Staf Khusus Presiden. Apa hubungan dengan sekretariat kabinet, apalagi menggunakan kop surat untuk kepentingan perusahaannya. Jangan-jangan dilakukannya tidak koordinasi dengan sekretariat kabinet. Ini kan sangat berbahaya dan menimbulkan tanda tanya besar. Mestinya, yang bersangkutan itu memahami Sekretariat Kabinet adalah lembaga negara yang memiliki aspek legalitas yang sesuai dengan regulasi. Apakah seorang staf khusus milenial merupakan pejabat yang berwenang untuk menggunakan kop surat sekretariat kabinet? Pastilah tidak jawabnya.

Menjadi staf khusus milenial hendaknya bisa menempatkan posisinya sebagai orang pilihan  yang dipercaya sekelas presiden. Tetapi fakta membuktikan bahwa ATGP belumlah siap menduduki posisi ini. Sayang, sudah diberi kepercayaan dan reward yang besar justru tidak digunakan sebaik-baiknya, tetapi malah memiliki upaya-upaya dalam memposisikan dirinya sangat dekat dengan abuse of power dan konflik kepentingan.

Untuk apa kalau tidak untuk memperkuat posisi perusahaannya dalam lingkungan kekuasaan? Apa itu bukan sebuah abuse of power? Abuse of power sebagai sebuah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu. Baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, korporasi atau lembaga. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. Sementara konflik kepentingan akan menjadi celah dan pintu untuk melakukan tindakan korupsi.

 

Salah Pilih Staf Milenial

Pihak istana pasti marah besar, bisa jadi sangat kecewa karena salah satu staf presiden milenialnya tengah berulah. Ini tentu ini menjadi sebuah aib dan pihak istana dianggap kecolongan dengan memilih staf yang satu ini. Staf ini dianggap tidak bisa menempatkan diri sebagai staf yang berkompeten dan tidak memahami arti penting birokrasi dan komunikasi.

Dipilih oleh presiden itu adalah sebuah penghargaan yang luar biasa. Hendaknya digunakan dengan sepenuh hati, mengutamakan kepentingan masyarakat, seperti didengung-dengungkan oleh presiden Jokowi. Ini sungguh ironis dan memalukan. Nasi sudah menjadi bubur, peristiwa sudah terjadi bahwa pilihan memang kurang tepat memilih orang dengan kondite yang kurang baik. Apalagi dengan menunjukkan performa kurang terpuji, tidak sepantasnya melakukan hal ini.

Kalau ada alternatif mencari ganti adalah sebuah solusi yang tepat. Mungkin bisa mencari orang yang memang mengerti unggah-ungguh (tata krama) dalam sebuah sistem kenegaraan seperti istana negara yang wajib kita jaga marwahnya. Saatnya pihak istana, harusnya merespon keinginan banyak kalangan untuk mengganti staf yang baru. Ibarat penyakit ini sudah memiliki riwayat penyakit yang suatu saat akan bisa kambuh lagi. Jadi, alangkah baiknya diganti saja yang berkompeten.

Beberapa tokoh dari pusat studi hukum seperti Feri Amsari juga jelas mengatakan bahwa perilaku ATGP berpotensi digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, jika motifnya adalah mencari keuntungan (kompas, 14/4/2020). Pernyataan itu jelas benar adanya, kalau saja surat itu tidak bocor dan masyarakat tidak tahu tentu masalahnya akan berbeda. Bisa jadi konflik interest akan terjadi dan praktek-praktek lain yang menyertainya juga akan memberi dampak yang kurang baik pula.

Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sebenarnya sudah jelas diatur di dalamnya. Penyelenggara negara dilarang melakukan tindakan yang bermuatan konflik kepentingan. Inilah yang perlu kritisi dan dikontrol agar peristiwa ini menjadi cambuk, khususnya ATGP. Apalagi terjadi ditengah suasana yang lagi prihatin seperti ini. Situasi bencana yang membutuhkan energi sangat besar, perhatian besar sehingga pandemi segera teratasi. Bukan malah membuat sensasi yang tidak perlu, dan tidak menggambarkan empati yang baik.

*) Agus Triyono adalah Analis Komunikasi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, dan Dosen di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

 

 

Artikel Terkait