Nasional

Dilema Covid-19 dan Manajemen Kebijakan Publik

Oleh : very - Rabu, 29/04/2020 17:09 WIB

Piki Darma Kristian Pardede, M.Si adalah peneliti di Public Policy and Local Governance Studies (Publigo) dan Rumah Rakyat Institut. (Foto: Ist)

Oleh: Piki Darma Kristian P, S.Sos, M.Si*)

INDONEWS.ID -- Dunia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan menyebarnya virus Covid-19, Per tanggal 28 April 2020 total masyarakat yang positif COVID-19 di Indonesia hari ini menyentuh angka 9.551. Di antaranya 1.245 orang dinyatakan sudah sembuh. Sedangkan angka kematian mencapai 773 orang hingga hari ini. Sejalan dengan itu tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir tuntas. Yang pasti tergantung bagaimana konsisetensi kebijakan suatu negara dalam memeranginya.

Dalam konteks analisis mitigasi, keberadaan  pemerintahan perlu mempersiapkan skenario kebijakan ditengah situasi pandemi Covid-19. Skenario bukan teknik meramal apa yang akan terjadi, melainkan memberikan beberapa alternatif kebijakan yang mungkin terjadi untuk membantu pengambil keputusan (decision making) pada tingkatan policy maker agar menyiapkan strategi yang tepat.

Sejauh ini produk kebijakan yang di hasilkan belum sepenuhnya memberi jawaban atas persoalan publik. Hal ini ditandai atas kebiasaan negara dan pemerintah dalam proses framing kebijakan yang kemasannya bagus dan canggih namun nihil substansi. Regulasi harus terfokus pada sasaran kebijakan, dan bantuan teknis, serta membangun instrumen untuk membantu negara dalam menanggapi krisis. Skenario kebijakan dalam teori Pareto disebutkan bahwa 20% kebijakan publik adalah faktor dan 80% adalah penyebab terjadinya.

Teori ini, jika dipahami secara mendasar, akan memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal yang akan menentukan kemajuan atau kemunduran suatu negara. Seperti yang disebutkan  Prof. Dr. Riant Nugroho, Pakar Kebijakan Publik dan Direktur Institute for Policy Reform dimana “Keunggulan suatu negara semakin ditentukan oleh fakta, apakah ia memiliki kebijakan-kebijakan publik yang unggul atau sebaliknya”. Maka ketika pemerintah tidak cepat merespon kondisi ini dengan kebijakan, Indonesia akan mengalami Involusi kebijakan.

Pun dalam kasus tertentu, banyak terjadi orientasi kebijakan yang berbeda antara pemerintah dan publik, terutama dalam proses formulasi kebijakan sehingga memunculkan ketidakharmonisan pada tataran implementasi. Kebijakan publik merupakan hal yang inhern dengan sistem politik yang dampaknya akan bermuara ke publik. Demikian halnya sistem politik yang dianut bangsa Indonesia harus mampu menghasilkan kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodir kepentingan publik (tidak hampa).

Selama dalam tiga bulan pandemi menyerang hampir seluruh wilayah Indonesia, pemerintah sudah mengeluarkan sederet kebijakan terkait penanganan wabah Covid-19. Mulai dari geser-geser anggaran, relaksasi ekonomi (termasuk kebijakan moneter) dan pengaturan kehidupan masyarakat. Pun beberapa kebijakan diantaranya bersifat dilematis dan tanpa terobosan (breakthrough).

Ada beberapa contoh kebijakan yang menurut saya dilematis dalam implementasinya, di antaranya adalah melting pot  antara UU Kekarantinaan Kesehatan dan Perpu Darurat Sipil. Penerapan darurat sipil berdasarkan Perpu tidak tepat karena situasi kedaruratannya bukan motif kesehatan, melainkan motif politik. Saat ini kebijakan PSBB juga bereaksi terhadap sistem ekonomi. Pada level mikro policy, beberapa Kepala Daerah (KDH) cendrung grogi dalam penerapannya, bahkan tidak siap.

Begitu juga Kebijakan tranportasi berbasis online yang kontraproduktif, dimana Permenhub Nomor 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka pencegahan Penyebaran Covid-19 saling berbenturan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020. Pada pasal 11 ayat (1) huruf c dinyatakan, “Angkutan roda dua (2) berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang”.

Di sisi lain, Permenhub ini bertentangan dengan Permenkes 9/2020 yang membolehkan membawa penumpang, khususnya Pasal 13 ayat (10) huruf a, yang mengatur penumpang kendaraan baik umum maupun pribadi harus mengatur jarak. Permenhub 18/2020 jelas melanggar UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan PP 21/2020. Pun fenomena persoalan mudik dan pulang kampung yang saat ini mendapat kontroversi pemaknaan.

 

Pendekatan Human Security

Dalam kondisi infectious disease saat ini, Kebijakan Alternatif perlu disiapkan dengan pendekatan Human Security tanpa mengabaikan aspek pengetahuan, nilai dan norma. Langkah ini atas respon kecepatan dalam memutuskan (fast decision) saat mendapat tekanan publik. Secara subtansial, pendekatan Human Security sudah berkembang sejak didirikannya Palang Merah Internasional (International Red Cross) pada tahun 1896.

Dengan kata lain, Konsep ini dapat dijadikan dasar dalam membuat kebijakan publik dalam penanganan issu kesehatan yang tengah terjadi sekarang. Berdasarkan hal itu, pemerintah harus mempersiapkan prioritas pada level manegemen kebijakan publik. Pertama, dalam tahap penyebaran virus, prioritas berfokus pada  kebijakan Health security; utamanya pelayanan kesehatan serta tenaga kesehatan, agar percepatan penanganan dapat terfokus, sehingga sektor pembangunan lain kembali bekerja dengan optimal. Karena jantung masalah penangan Covid-19 adalah kesehatan.

Kedua, Economic security, bebas dari kemiskinan dan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dalam kemudahan akses terhadap kebutuhan pangan. Tanpa penyelesaian pandemi yang tuntas, beban ekonomi masyarakat akan meningkat. Bagaimana tidak, badai Covid-19 pastinya mengkoreksi hampir seluruh proyeksi ekonomi, banyak sektor industri dan perusahaan memangkas jumlah pekerja sehingga mendorong besarnya arus pengamgguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, potensi dampak sosial dan politik harus diperhitungkan. Instabilitas ekonomi, dan keresahan publik dapat memunculkan tindakan kriminalitas seiring dengan terjadinya pandemi.

Ketiga, Collaboration approach, sinergi dan aksi bersama stakeholder lintas sektoral termasuk perumusan kebijakan pemerintah dengan pelibatan aktif masyarakat sipil. Pandemi bukan hanya urusan pemerintah, melainkan masalah seluruh bangsa. Tentunya kerangka regulasi khusus untuk kegawatdaruratan yang memungkinkan semua elemen dalam pemerintahan dan masyarakat sipil, termasuk sektor swasta, media, para pakar, dan peneliti, untuk segera bergerak di tingkat pusat hingga daerah. Agar strategi percepatan penanganan dapat berkelanjutan.

Dari ulasan saya diatas, negara kita khususnya dalam menghadapi virus Covid 19 ini perlu mempertimbangkan beberapa hal terkait health security utamanya kesiapan pemerintah dan seluruh stakeholder dalam kesamaan pemahaman agar tidak terjadi dilematis dan grogi dalam implementasi kebijakan. Sehingga tidak terjadi blunder atas kebijakan yang telah dirumuskan, apalagi agregat biaya yang dikorbankan terbilang besar.

Karena itu sangat dibutuhkan leader yang measurable initiative dan smart decisive dengan memiliki rasionalitas atau batasan akal, logika, etika, dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang ambigu akan menjebak kita dalam ketidakpastian.

*) Piki Darma Kristian Pardede, M.Si adalah peneliti di Public Policy and Local Governance Studies (Publigo) dan Rumah Rakyat Institut.

Artikel Terkait