Nasional

Kasus Jiwasraya, Kuasa Hukum Joko Hartono: Kejagung Tak Berwenang Lakukan Penyidikan

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 10/06/2020 15:15 WIB

Para Hakim dan Tim Kuasa Hukum Joko Hartono Tirto saat sidang kasus korupsi PT. Asuransi Jiwasraya dengan terdakwa Joko Hartono Tirto (Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tim Penasehat Hukum Joko Hartono Tirto, Kresna Hutauruk mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak berwewenang melakukan penyidikan dan penuntutan di pengadilan tindak pidana korupsi karena perkara a quo bukan merupakan tindak pidana korupsi. Menurutnya, penanganan perkara Asuransi Jiwasraya ini syarat penyimpangan.

"Bahkan pelanggaran hukum yang dialami terdakwa terjadi sejak penyelidikan perkara ini" kata Hutauruk dalam keterangan tertulisnya yang diterima Indonews.id, Rabu (10/6/20).

Salah satu bentuk penyimpangan jelasnya, yakni penyidikan perkara ini didasarkan pada hasil penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan pada PT. Asuransi Jiwasraya.

Padahal faktanya, lanjutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kejaksaan Agung tidak diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Fakta tersebut menunjukkan, telah terjadi salah kaprah sejak awal penanganan perkara ini.

“Bila dikaitkan dengan prinsip fruit of poisonous tree, tindakan Kejaksaan tidak sah karena sejak semula diawali oleh perbuatan yang melawan hukum,” jelas Hutauruk.

Ketimpangan lainnya, Hutauruk menjelaskan, surat dakwaan Penuntut Umum tidak cermat menguraikan adanya perbuatan terdakwa memperkaya atau menguntungkan diri sendiri.
Hal itu menunjukkan JPU mengakui tidak adanya keuntungan dan perbuatan memperkaya diri sendiri pada diri Terdakwa.

“Karena tidak ada uraian perbuatan Terdakwa memperkaya diri sendiri atau memperoleh keuntungan, maka kepada Terdakwa tidak dapat diterapkan ketentuan Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” terang Hutauruk.

Menurutnya, tuduhan Penuntut Umum mengenai Terdakwa memperkaya atau menguntungkan diri sendiri adalah tuduhan yang tidak berdasar.

Pasalnya, dalam surat dakwaan, tidak ada disebutkan satupun harta benda terdakwa yang disita sebagaimana berkas perkara a quo yang merupakan hasil yang diterima terdakwa dari keuntungan kasus jiwasraya.

Hal ini menunjukkan segala harta benda terdakwa yang disita tidak ada keterkaitan dan tidak ada hubungannya dengan perkara ini. 

Karena itu, penyitaan atau perampasan terhadap harta benda terdakwa dan keluarganya adalah tidak sah dan tidak berdasar karena memang tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

“Tindakan penyidik perkara a quo yang menyita harta benda terdakwa dan keluarganya adalah tindakan yang sewenang-wenang dan tidak berdasar,” tegas Hutauruk.

Karena itu, Hutauruk menegaskan, surat dakwaan harus dibatalkan. Apalagi, surat dakwaan itu  tidak menguraikan perbuatan terdakwa yang berkaitan dengan unsur pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dia menjelaskan, uraian dakwaan mengenai kerugian negara juga tidak cermat. Karena tidak memperhitungkan bahwa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) masih memiliki berbagai saham dan reksadana yang disebutkan dalam surat dakwaan. 

Saham dan Reksadana yang dimaksud dakwaan, yang setiap saat bisa naik dan bisa turun, belum terjual dan masih dimiliki oleh PT. Asuransi Jiwasraya, tetapi sudah dinyatakan mengalami kerugian riil. Faktanya, penurunan nilai saham tersebut masih merupakan potensi kerugian.

Ketidakcermatan surat dakwaan juga terlihat saat perhitungan kerugian negara dilakukan berdasarkan nilai saham dan reksadana per tanggal 31 Desember 2019. Padahal tempus perbuatan yang dituduhkan adalah tahun 2008-2018. 

Perbedaan Nilai saham setiap hari, bulan, tahun itu sangat signifikan. Karena itu, untuk perhitungan cut off tahun 2019, selain tidak berdasar karena tempus sampai 2018, juga menunjukkan JPU tidak mengerti model perhitungan saham. Hal ini disebabkan karena JPU memaksakan permasalahan pasar modal menjadi tindak pidana korupsi.

“Demikian juga, surat dakwaan tidak jelas menguraikan peran terdakwa dalam mengatur dan mengendalikan 13 (tiga belas) manajer investasi (MI).

Hutauruk mengaku heran bagaimana, kapan, dengan cara apa, dan atas kesepakatan apa Terdakwa mengendalikan MI juga tidak jelas diuraikan. Semuanya hanya Berdasarkan Asumsi JPU.

“Begitu pula mengenai counterparty, surat dakwaan tidak jelas dalam menguraikan bagaimana terdakwa mengendalikan counterparty dalam transaksi reksa dana di 13 manajer investasi,” imbuhnya. 

Siapa saja Counterparty, bagaimana,  kapan, dengan cara apa, dan atas kesepakatan apa terdakwa mengendalikan para Counterparty juga tidak jelas diuraikan. Semuanya hanya Berdasarkan Asumsi JPU. 

Lebih lanjut, Hutauruk mengatakan surat dakwaan tersebut juga tidak jelas menguraikan afiliasi antara terdakwa dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro sehubungan dengan investasi PT Asuransi Jiwasraya.

Terdakwa adalah seorang konsultan, yang tidak terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjkoro dan hanya bekerja berdasarkan keahlian untuk membantu memberi masukan terkait permasalahan kerugian Jiwasraya pada tahun 2008.*(Rikard Djegadut).

Artikel Terkait