Opini

Ada Apa dengan Pancasila ?

Oleh : luska - Rabu, 17/06/2020 17:48 WIB

Oleh : Prof. Dr. Drs Djohermansyah Djohan, MA (Guru Besar IPDN, Dirjen Otonomi Daerah, dan Pendiri i-Otda)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tiba-tiba di bulan Juni yang jadi bulan Pancasila timbul kegaduhan dalam masyarakat kita. Mestinya kita menyambutnya dengan gembira.

Gara-garanya DPR dengan hak prakarsa ajukan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan berbagai formulasi baru yang mengundang seribu tanya.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah cocok sekali untuk Indonesia yang majemuk ini. Dia menjadi pemersatu bangsa.

Pancasila juga sudah diletakkan di tempat yang tepat di dalam Preambule UUD 1945. Dengan begitu, dia tidak bisa diubah-ubah, ditambah maupun dikurangi.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sudah benar pula. Dia jadi acuan  semua peraturan perundang-undangan kita, mulai dari konstitusi sampai peraturan menteri, bahkan hingga peraturan daerah. Jangan pula dia didegradasi ke bentuk UU sendiri.

Apa sejatinya masalah ideologi Pancasila kita ? 
Kita tidak menjadikan Pancasila dengan sungguh-sungguh sebagai the living ideology, ideologi yang hidup di seluruh rongga-rongga kehidupan bangsa.
Pancasila cuman ada di upacara-upacara. Bahkan, pada hari kelahirannya kita jadikan hari libur nasional pula.

Bila dilihat aspek kehidupan politik, Pancasila pun tidak tampak di sana. Permusyawaratan di dalam lembaga perwakilan (konsensus) sesuai sila ke empat sudah diganti dengan suara terbanyak di dalam pemungutan suara (voting).

Di bidang ekonomi, tidak jauh berbeda. Ekonomi kapitalis yang menghela roda ekonomi kita, bukan ekonomi (Pancasila) berbasis kerakyatan sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945.

Di bidang sosial kemasyarakatan Pancasila pun hampir tidak bersua. Kita lebih memuja individualisme dan liberalisme, ketimbang sosialisme religius yang diajarkan oleh Pancasila. Tepo selero kata orang Jawa atau  enak diawak kataju dek urang kata orang Minang, tak laku lagi. Kalau saya suka, mau apa? Misalnya, saya mau isteri dan anak anak atau mantu saya jadi kepala daerah, itu hak asasi manusia. Kan tidak dilarang oleh Undang-Undang. 

Malahan  yang lebih miris di bidang pendidikan PMP atau Civics tak lagi ada. Di Amerika Serikat saja anak sekolah belajar Civics. Anak-anak kita jadi buta ideologi negaranya. 

Upaya pemerintah di era reformasi membumikan Pancasila minim sekali. MPR pernah melakukan sosialisasi empat pilar, tapi terasa hambar.

Kini dibentuk BPIP, tapi tidak punya kaki ke bawah.
Diusulkan UU HIP, tapi menunai kontroversi luas dalam masyarakat. Soal Pancasila bisa diperas-peras jadi trisila dan ekasila alias gotong royong. Soal Ketuhanan yang berkebudayaan. Soal Tap MPRS No XXV Tahun 1966 yang melarang ajaran Komunis yang tidak dimasukkan dalam konsideran, sehingga muncul kecurigaan UU HIP bakal membuka peluang bagi bangkitnya PKI.

Untunglah, ditengah-tengah kesibukan luar biasa pemerintah memerangi bencana nasional non-alam pandemi Covid 19, Presiden Joko Widodo dengan cepat memutuskan untuk menunda pembahasan UU HIP itu. Sehingga, kemarahan rakyat kepada wakil rakyat dan partai pemprakarsa UU HIP bisa dicegah.

Hemat saya, membumikan Pancasila tidak perlu pakai UU HIP. Tidak perlu pula pakai lembaga khusus yang hanya menghabiskan biaya.
Ada dua cara mudah dan murah.

Pertama, jadikan pemimpin di tingkat nasional dan daerah sebagai teladan dalam menerapkan nilai nilai Pancasila. Semua pikiran, ucapan dan tindakannya harus  Pancasilais. 

Kedua, pelajaran Civics yang di dalamnya ada muatan nilai-nilai Pancasila wajib diajarkan di seluruh jenjang sekolah kita.

Semoga...

Artikel Terkait