Opini

Pilkada Serentak: Golput atau Nekat?

Oleh : Mancik - Minggu, 27/09/2020 22:01 WIB

Penggiat Demokrasi, Astra Tandang.(Foto:Istimewa)

Oleh :Astra Tandang*)

INDONEWS.ID - Pilkada merupakan cara untuk melegitimasi para pemimpin dan memberi mereka dukungan massa. Lalu, akrobatik politik para kontestan pun digelar guna meraup suara sebanyak mungkin pada Pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang.

Riuh-rendah akrobatik politik para kontestan ternyata memantik perhatian serius publik. Bagaimana tidak, aktivitas pengumpulan massa bersekala besar oleh pasangan calon massif dilakukan dan tidak bisa terhindarkan. Dan semua itu terjadi ditengah badai pandemi Covid-19 yang menakutkan, mencemaskan dan mematikan siapa saja tanpa pandang bulu.

Kerumunan massa tentu mempersulit upaya pencegahan penyebaran wabah Corona Virus. Namun, di sisi lain Pilkada Serentak dipaksakan untuk terus digelar. Kadang kita berfikir, soal ini Indonesia memang pantas dijadikan tauladan dalam sikap militan, nekat dan keberanian.

Berbagai dalil pun berusaha disediakan Pemerintah, DPR dan KPU agar aktivitas politik Pilkada Serentak tetap dilaksanakan. Melucutinya melaui koridor dinamika ketatanegaraan di tengah Covid-19 yang dinilai sebagai kebutuhan urgensi konstitusional menghadapi potensi acaman ketidakpastian hukum akibat keoksongan jabatan kepala daerah yang definitive.

Disini pemerintahan daerah dianggap tidak legimte jika kursi kepala daerah diisi oleh PLT. Selain itu, argumentasi yang selalu hadir adalah Pemilu termasuk Pilkada adalah bagian integral dari pemenuhan hak konstitusional warga negara yang hidup dalam sistem demokrasi dan harus dipenuhi negara.

Meski kemudian dalam peraktiknya, tak jarang posisi rakyat dalam demokrasi hanya semata-mata melahirkan pemerintah. Berharap Pilkada dijadikan sebagai ruang artikulasi hak untuk memilih, tetapi ternyata lebih dominan kerap diterjemahkan ke dalam politik mobilisasi menuju bilik-bilik suara.

Belum lagi jika kita memeriksa lebih dalam setiap kontestasi electoral pada wajah pilkada kita selama ini yang tak pernah luput dari berbagai peraktik kecurangan, ketimpangan bahkan kejahatan.

Di sisi lain, walau partai politik jumlahnya lebih banyak ketimbang di masa Orde Baru tetapi keyakinannya masih tetap sama yakni, mengutamakan para pemodal, memelihara semangat nepotisme dan masih belaku pragmatis.

Soal keberanian negara untuk memaksa pilkada serentak agar tetap digelar ternyata tak sedikit meyulut protes keras dari public. Interupsi itu datang dari berbagai kalangan, baik itu petani, nelayan, kaum miskin kota, para intelektual, aktivis, mahasiswa pun organisasi masyarakat sipil. Kebanyakan mereka meminta agar Pilkada serentak segera ditunda dan pemerintah harus lebih berkonsentrasi terhadap penanganan Covid-19.

Misalnya protes yang sudah dilakukan oleh ketiga ormas terbsesar di Indoensia yaitu MUI, NU dan Muhammadiyah. Mereka meminta pilkada ditunda atas pertimbangan kemanusiaan. bahwa keselamatan jiwa tidak bisa dinegosiasikan, terlebih oleh kegiatan politik.

Bak gayung bersambut, pernyataan ketiga ormas ini menuai beragam respons public. Tak sedikit yang menyenanginya dan memberi komentar atasnya hingga dijadikan palu godam untuk menghardik kekuasaan.

Farid Gaban misalnya. Aktivis pro demokrasi itu melalui platfrom media sosial (FB) pribadinya menulis; “NU, MUI dan Muhammadya itu kurang kerjaan. Minta pilkada ditunda. Terus gimana dong anak dan menantu gua yang udah ngebet jadi walikota? Kalian gak punya perasaan. usul itu mbok, ya, yang solutip”.

Sealin itu di Kediri, Jawa Timur, sejumlah warga menggelar aski unjuk rasa di depan kantor KPU setempat. Tuntutan masih sama, yaitu pilkada ditunda dan utamakan kesehatan warga.

Meski protes tersebut terus berdatangan, Pemerintah, DPR dan KPU tetap kekeh untuk melaksanakan pilkada serentak pada Desember mendatang. Jika demikian, keputusan terakhir diserahkan di tangan rakyat, karena rakyat lah yang jadi subjek dalam demokrasi. Pilihannya ada dua.

Pertama, memilih golput. Jika memilih golput artinya kita tidak bisa menetukan pilihan pada kontestan yang mungkin kita banggakan, idamkan dan menginginkannya untuk memimpin daerah tempat kita tinggal. Kita tidak usah berkeringat darah mengikuti kampanye dan pergi ke TPS.

Misalnya di hari pencoblosan, cukup kita tinggal di rumah (stay at home) dengan melakukan hal yang lebih produktif dan tidak membahayakan nayawa sendiri pun orang lain. Jika di rumah saja saat hari pencoblosan, maka kita pasti akan aman dari ancaman maut Corona.

Kedua, memilih untuk tetap nekat. JIka memilih nekat untuk tetap ikut meyoraki perhelatan pilkada serentak, mengikuti kampanye hingga hadir di hari pencoblosan maka ancaman terbesar bagi kita adalah terpapar virus Corona yang mematikan itu. Meninggal sia-sia hanya karena ingin memenangkan jagoan-jagoannya masing-masing.

Meski belum tentu kepala daerah yang berhasil dipilih itu bisa mengatasi kerusakan-kerusakan baik di sektor ekonomi, politik, kesehatan, sosial, budaya akibat Corona Virus selama ini. Waktu untuk berfikir rasional masih tersedia cukup banyak. Saatnya tentukan pilihan: golput atau nekat di pilkada mendatang?.*

*)Penulis adalah Penggiat Demokrasi dan Tinggal di Yogyakarta

 

 

Artikel Terkait